(12)
Udara pagi di SMAN 4 Sidoarjo terasa lebih menegangkan dari biasanya. Hari ini adalah hari pertama Ujian Akhir Sekolah, dan seluruh siswa kelas dua belas---termasuk aku, Ragil, Rendra, dan Niken---berkumpul di halaman sekolah untuk pengarahan terakhir sebelum ujian dimulai. Â
Tapi ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Â
Niken, yang biasanya langsung menyapaku dengan semangat, justru menghindari kontak mata. Dia berdiri di dekat teman-teman perempuannya, memainkan ujung jilbabnya sambil sesekali melirik ke arahku. Sejak kejadian di kafe kemarin, suasana antara kami terasa... aneh. Â
Di Ruang Ujian
Aku duduk di bangku paling tengah, sementara Niken kebetulan berada di barisan depan. Setiap kali aku mengangkat kepala, aku bisa melihat punggungnya yang tegang---seperti ada beban yang dia bawa. Â
"Apa dia gugup karena ujian? Atau karena... aku?"
Pikiranku buyar saat soal matematika dibagikan. Tapi anehnya, di tengah-tengah mengerjakan integral dan limit, mataku tetap tertarik untuk mencuri pandang ke arah Niken. Â
Dia menoleh sebenta, dan kami bertatapan. Â
Dia cepat-cepat memalingkan wajah, tapi tidak cukup cepat untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. Â
Tak terasa waktu  Istirahat tiba
"Arman, kamu ngerjain nomor lima gimana?" tanya Rendra sambil menyodorkan kotak makan siangnya. Â