Dengan kepergian Ragil dan Rendra, aku dan Niken harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan proposal. Niken sendiri juga sedang menghadapi tes masuk Universitas Airlangga (Unair), tapi dia memilih untuk tetap membantu karena merasa proposal ini adalah tanggung jawab bersama.
"Armannn, kita harus fokus. Deadline tinggal empat hari lagi," kata Niken sambil menatap layar laptopnya. "Aku sudah siapkan bagian strategi pemasaran dan program loyalty card. Kamu bisa cek dan sesuaikan dengan data terbaru."
Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri meskipun tekanan semakin terasa. "Terima kasih, Niken. Aku akan cek bagian operasional dan rencana pengembangan kafe."
Kami pun mulai bekerja dengan penuh konsentrasi. Setiap detik terasa berharga, dan kami tidak ingin ada kesalahan kecil yang bisa merusak proposal kami. Anjani, adikku, juga ikut membantu dengan menyiapkan kopi dan camilan untuk kami.
"Kakak, Niken, istirahat dulu deh. Kalian udah kerja dari pagi," kata Anjani sambil menaruh dua gelas kopi di meja kami.
"Terima kasih, Jani," jawabku sambil mengambil gelas kopi. "Kamu benar, kita butuh istirahat sebentar."
Niken juga tersenyum pada Anjani. "Terima kasih, Anjani. Kamu benar-benar membantu kami."
Setelah istirahat sebentar, kami pun kembali bekerja. Meskipun ada tekanan dan kelelahan, aku merasa bersyukur memiliki tim yang solid seperti ini. Ragil, Rendra, dan Niken adalah teman-teman yang luar biasa, dan aku yakin kami bisa melewati semua tantangan ini bersama.
Sore itu, Ragil dan Rendra akhirnya kembali ke kafe. Mereka terlihat lelah tapi penuh semangat.
"Gimana tesnya, Gil?" tanyaku penasaran.
Ragil tersenyum kecil. "Alhamdulillah, lancar. Sekarang tinggal tunggu hasilnya."