(7)
Hari itu, kami memutuskan untuk mengunjungi Perpustakaan Umum Sidoarjo untuk mencari referensi tambahan yang bisa memperkuat proposal bisnis kami. Ragil dan Rendra berangkat lebih awal karena mereka harus menyelesaikan beberapa tugas sekolah terlebih dahulu. Sementara itu, aku dan Niken sepakat untuk berangkat bersama setelah kafe tutup siang.
Setelah memastikan Lintas Garis Coffee sudah bersih dan rapi, aku dan Niken pun bersiap untuk berangkat. Aku mengambil helm dan menyalakan motor, sementara Niken sudah siap di belakang dengan tas berisi laptop dan buku catatannya.
"Ready, Niken?" tanyaku sambil menoleh ke belakang.
"Ready!" jawab Niken dengan semangat.
Kami pun meluncur ke arah Perpustakaan Umum Sidoarjo. Cuaca sore itu cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang membuat perjalanan terasa menyenangkan. Sepanjang jalan, kami berbincang tentang berbagai hal, mulai dari rencana untuk lomba bisnis muda hingga cerita-cerita lucu di sekolah.
"Armannn, kamu pernah ngebayangin gak sih, kalau kita menang lomba ini, Lintas Garis Coffee bisa jadi seperti apa?" tanya Niken tiba-tiba.
Aku tersenyum. "Pernah. Aku membayangkan kafe ini jadi tempat yang lebih besar, dengan suasana yang tetap hangat dan ramah. Mungkin kita bisa buka cabang di kota lain, atau bahkan bikin franchise."
"Wah, keren banget!" sahut Niken antusias. "Aku juga pengen banget lihat Lintas Garis Coffee berkembang. Aku yakin, dengan kerja keras kita, semua itu bisa terwujud."
Aku merasa senang mendengar semangat Niken. Meskipun ada sedikit keheningan setelah curhatnya beberapa hari yang lalu, kami berhasil menjaga hubungan kami tetap baik. Niken adalah teman yang sangat berarti, dan aku tidak ingin kehilangan dia hanya karena perasaan yang mungkin tidak terbalaskan.
Sesampainya di perpustakaan, kami langsung menuju bagian referensi bisnis dan ekonomi. Ragil dan Rendra sudah menunggu di sana, dengan setumpuk buku dan laptop yang sudah terbuka.
"Armannn, Niken! Akhirnya datang juga," sapa Rendra sambil melambai.
"Maaf, kita agak terlambat. Tadi harus pastiin kafe bersih dulu," jawabku sambil duduk di sebelah Ragil.
"Gak apa-apa. Kita baru aja mulai nyari referensi," kata Ragil sambil menunjuk ke buku-buku di depannya. "Ada beberapa buku bagus tentang strategi pemasaran dan manajemen bisnis kecil. Mungkin bisa kita pakai buat proposal."
"Bagus sekali," sahut Niken. "Aku juga bawa beberapa ide dari artikel online yang aku baca kemarin. Kita bisa gabungkan semuanya."
Kami pun mulai bekerja, membagi tugas sesuai keahlian masing-masing. Ragil fokus pada analisis data dan proyeksi keuangan, sementara Rendra dan Niken mengerjakan desain presentasi dan materi promosi. Aku sendiri bertugas merangkum semua ide dan menyusunnya menjadi proposal yang koheren.
Setelah beberapa jam bekerja, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Kami pun keluar dari perpustakaan dan duduk di taman kecil di depannya, menikmati udara sore yang segar.
"Gimana, Arman? Udah dapet banyak referensi?" tanya Rendra sambil mengunyah sepotong kue yang dia beli dari kantin perpustakaan.
"Lumayan. Aku nemu beberapa konsep menarik tentang customer engagement dan sustainability. Itu bisa kita pakai buat memperkuat proposal kita," jawabku.
Niken mengangguk. "Aku juga nemu beberapa studi kasus tentang bisnis kafe yang sukses. Mungkin kita bisa ambil beberapa poin penting dari sana."
Ragil yang selama ini diam tiba-tiba ikut bicara. "Kita juga harus perhatikan bagian financial planning. Juri pasti akan lihat itu dengan detail. Jadi, kita harus pastiin angka-angkanya akurat dan realistis."
"Betul," sahutku. "Kita harus kerja ekstra buat bagian itu."
Setelah istirahat sebentar, kami pun kembali ke perpustakaan untuk melanjutkan pekerjaan. Suasana di dalam perpustakaan semakin sepi seiring dengan berjalannya waktu. Hanya ada beberapa pengunjung yang masih asyik membaca atau belajar.
Saat kami sedang asyik bekerja, tiba-tiba Niken menoleh ke arahku. "Arman, aku mau bilang sesuatu."
Aku mengangkat alis, penasaran. "Ada apa, Niken?"
Niken tersenyum kecil. "Aku cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih udah nerima aku di tim ini, dan udah jadi teman yang baik buat aku. Aku senang bisa berkontribusi di Lintas Garis Coffee."
Aku merasa tersentuh mendengar kata-katanya. "Aku juga senang, Niken. Kamu udah bawa banyak perubahan positif buat kita. Terima kasih udah jadi bagian dari tim ini."
Ragil dan Rendra yang mendengar percakapan kami ikut tersenyum. "Kita semua tim yang solid," kata Ragil. "Dan aku yakin, dengan kerja keras kita, proposal ini akan jadi yang terbaik."
"Setuju!" sahut Rendra. "Ayo, kita selesaikan ini dengan baik!"
Kami pun kembali fokus pada pekerjaan kami, dengan semangat yang semakin membara. Meskipun ada tantangan dan kejutan di tengah perjalanan, aku merasa bersyukur memiliki teman-teman seperti Ragil, Rendra, dan Niken. Mereka adalah bagian dari mimpi besar Lintas Garis Coffee, dan bersama mereka, aku yakin kami bisa melintasi garis-garis baru menuju kesuksesan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI