(5)
Setelah diskusi seru di Lintas Garis Coffee, kami pun mulai bekerja keras untuk menyiapkan proposal bisnis yang akan kami ajukan dalam Lomba Bisnis Muda Sidoarjo. Ragil, dengan keahliannya dalam analisis data, segera merancang struktur proposal dan menghitung proyeksi keuangan. Rendra, yang memiliki jiwa seni, bertugas membuat desain presentasi yang menarik. Sementara aku, Arman, fokus pada pengembangan konsep dan strategi operasional kafe.
Hari-hari berikutnya diisi dengan rapat kecil di kafe setelah jam operasional berakhir. Kami duduk di meja sudut favorit, dikelilingi oleh laptop, kertas, dan secangkir kopi hangat. Anjani juga sering ikut memberikan masukan, terutama tentang ide-ide kreatif yang bisa menarik minat pelanggan muda.
"Kita harus punya unique selling point yang kuat," kata Ragil suatu sore, sambil menatap layar laptopnya. "Misalnya, kita bisa fokus pada kopi lokal yang diproduksi oleh petani Sidoarjo. Ini bisa jadi nilai tambah sekaligus bentuk dukungan kita pada UMKM lokal."
"Setuju," sahutku. "Kita bisa bikin campaign 'From Local, For Local'. Jadi, pelanggan tidak hanya menikmati kopi enak, tapi juga ikut berkontribusi pada perekonomian lokal."
Rendra menambahkan, "Kalau gitu, kita juga bisa bikin packaging yang menarik, dengan cerita tentang asal-usul kopi yang kita pakai. Jadi, pelanggan bisa lebih terhubung dengan produk kita."
Anjani yang sedang membersihkan meja di dekat kami tiba-tiba ikut nimbrung. "Kakak, bagaimana kalau kita juga bikin workshop tentang cara membuat kopi? Biar pelanggan bisa belajar langsung dari kita."
"Wah, ide bagus, Jani!" pujiku. "Itu bisa jadi kegiatan rutin kita. Selain menambah engagement, kita juga bisa menarik pelanggan baru."
Sementara kami sibuk berdiskusi, tiba-tiba pintu kafe terbuka, dan Pak Ghofur masuk dengan senyum khasnya. Beliau tidak sendirian---ada seorang perempuan muda berkacamata yang berdiri di sampingnya. Perempuan itu terlihat cantik dan cerdas, dengan aura yang ramah.
"Selamat sore, Arman. Lagi rapat ya?" sapa Pak Ghofur.