Mohon tunggu...
julio purba kencana
julio purba kencana Mohon Tunggu... Hanya orang di persimpangan kiri jalan

Seorang intelektual muda, budayawan sekaligus pengiat filsafat, aktif menulis sastra dan telah menerbitkan beberapa buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melawan Kekerasan Seksual dengan Kesadaran Hubungan Intersubjektivitas

23 September 2024   01:14 Diperbarui: 25 Mei 2025   13:09 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca berita tentang siswi SMP penjual balon yang menjadi korban pemerkosaan membuat hati siapa pun teriris. Saya termenung cukup lama dan bertanya-tanya ke mana arah moral bangsa ini. Apa yang sebenarnya dipikirkan pelaku saat tega melakukan tindakan biadab terhadap anak yang bahkan belum mengerti sepenuhnya tentang dunia? Bagaimana perasaan kedua orang tua korban yang harus menghadapi kenyataan paling menyakitkan dalam hidup mereka? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggema di kepala banyak dari kita namun jawaban yang memuaskan seolah tak pernah ada.

Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya mencerminkan kejahatan fisik tetapi juga menunjukkan krisis mendalam dalam nilai-nilai kemanusiaan kita. Dalam perspektif filsafat, tindakan ini merupakan bentuk nyata penolakan terhadap eksistensi manusia lain sebagai sesama subjek yang setara dan merdeka. Pelaku kekerasan seksual tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengingkari fondasi moral yang seharusnya menjadi tiang penyangga masyarakat.

Konsep intersubjektivitas yang dijelaskan oleh pemikir seperti Edmund Husserl dan Emmanuel Levinas menegaskan pentingnya pengakuan terhadap orang lain sebagai pribadi yang utuh dan bermartabat. Dalam relasi sosial yang sehat, individu menghormati satu sama lain bukan karena kekuasaan atau kepentingan tetapi karena kesadaran akan nilai intrinsik yang melekat pada setiap manusia. Namun kekerasan seksual secara terang-terangan menolak prinsip ini. Korban tidak lagi dipandang sebagai manusia tetapi hanya sebagai objek yang dimanfaatkan demi pemuasan nafsu sesaat.

Jean-Paul Sartre pernah mengatakan bahwa ketika seseorang memandang orang lain dengan hasrat untuk menguasai, maka yang terjadi adalah perubahan status manusia menjadi benda. Tatapan yang mengobjektifikasi ini adalah bentuk agresi terhadap kebebasan orang lain. Dalam kekerasan seksual, pelaku telah menempatkan dirinya sebagai pusat dunia dan meniadakan kemanusiaan korban sepenuhnya.

Tidak berhenti sampai di situ, kekerasan seksual meninggalkan luka yang jauh lebih dalam dibanding apa yang tampak di permukaan. Trauma psikologis, kehilangan rasa aman, dan kehancuran harga diri adalah beban yang harus ditanggung korban dalam waktu yang sangat lama. Inilah sebabnya mengapa kejahatan ini tak bisa hanya ditanggapi dengan sanksi hukum. Ia menuntut refleksi sosial dan pembenahan budaya yang mendasar.

Di era digital, krisis ini semakin diperparah oleh kemudahan akses terhadap konten pornografi. Anak-anak usia belasan tahun kini menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan cyberporn. Konten semacam ini tidak hanya memvisualisasikan seks secara vulgar tetapi juga menanamkan pola pikir bahwa tubuh manusia hanyalah objek konsumsi. Ketika ini terjadi secara terus-menerus, maka persepsi anak-anak terhadap relasi manusia akan rusak secara struktural.

Paparan konten yang mengobjektifikasi manusia berpotensi besar menumpulkan empati dan mengikis penghargaan terhadap martabat individu. Anak-anak yang terbiasa melihat tubuh sebagai objek tanpa nilai akan lebih mudah tergelincir pada perilaku menyimpang. Mereka tidak lagi belajar mencintai dengan cara yang manusiawi tetapi dengan cara yang konsumtif dan destruktif.

Mengatasi hal ini tidak bisa hanya dengan memblokir situs atau mengandalkan teknologi pengawasan. Kita harus mulai dari membangun budaya yang menanamkan nilai intersubjektivitas sejak dini. Orang tua harus terlibat aktif dalam mendampingi anak menjelajahi dunia digital. Sekolah harus menjadi ruang edukasi moral dan empati yang nyata. Dan negara harus hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi.

Pendidikan yang mengakar pada penghormatan terhadap hak dan martabat orang lain harus menjadi arus utama. Anak-anak perlu dikenalkan bahwa relasi manusia tidak pernah boleh didasarkan pada dominasi dan pemanfaatan tetapi pada penghargaan dan tanggung jawab. Budaya intersubjektivitas adalah benteng terakhir kita dalam menjaga kemanusiaan tetap hidup di tengah badai kemajuan teknologi dan krisis moral.

Jika hari ini kita tidak serius membangun kembali penghargaan terhadap sesama manusia maka kita sedang membiarkan masa depan kita dihancurkan sedikit demi sedikit. Kekerasan seksual bukan sekadar tindakan kriminal tetapi alarm keras bahwa kita sedang gagal mendidik generasi yang mampu memanusiakan manusia. Dan kegagalan itu akan menjadi warisan paling menyakitkan bagi bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun