Negeriku, ibu yang dulu menyuapi dengan kasih, kini tubuhmu dipenuhi lebam, yang dirobek oleh tangan anak-anakmu sendiri.
Langitmu kelabu, bukan karena air hujan yang membasahimu, tetapi karena janji-janji yang di kubur setelah ditepati.
Pohon-pohon yang kau dulu pernah tanam, semuanya telah tumbang bukan karena angin, tetapi karena keserakahan yang di bungkus pembangunan.
Luka-lukamu kau sembinyikan dibalik bendera darah dan tulang, yang terus menjerit dibalik siaran berita, dan aku tahu, bahwa malamu tak pernah benar-benar tidur.
Di pelosok sunyi, mataku melihat ibu yang terus menangis, dan anak-anak yang tumbuh peuh mimpi yang retak.
Sementara, di istana gelas-gelas bir penuh tawa, berisik oleh pesta para perusak.
Negeriku, seandainya kau tahu, engkau tak gagal, tetapi kau telah dihianati, dipimpin oleh mereka yang pandai bicara, tapi tuli dalam derita.
Dalam ruang yang gelap, ditemani seberkas cahaya lilin, aku berdoa dengan kata-kata menyayangimu dengan marah, dan menulis puisi tentang luka yang membara dan harapan yang tak pernah mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI