Strategi pertama adalah Mengatasi Masalah Inti dengan Kepala Sekolah atau Guru. Jika hasil deteksi dini menunjukkan masalah sosial atau akademik, Bunda wajib menjalin komunikasi dengan sekolah. Kita tidak perlu langsung menuntut, tapi berdiskusi. Katakan, "Anak saya merasa kesulitan di pelajaran Matematika; apakah ada bimbingan tambahan?" atau "Saya khawatir dia merasa sendiri saat istirahat; mohon bantuannya untuk mengamati interaksi sosialnya."
Strategi kedua adalah Ritual Sore yang Penuh Makna. Setelah pulang sekolah, jangan langsung bertanya tentang nilai atau pelajaran. Tanyakan tentang pengalaman. "Ceritakan satu hal paling seru hari ini!" atau "Kalau hari ini ada film, judulnya apa?" Ini membantu anak memproses hari mereka dan menyoroti hal-hal positif, yang akan dibawa sebagai memori saat mereka bangun keesokan harinya.
Strategi ketiga adalah Mengajarkan Keterampilan Mengatasi Masalah (Coping Skills). Jika masalahnya adalah takut PR, ajarkan anak untuk membagi tugas besar menjadi tugas-tugas kecil. Jika masalahnya adalah teman yang mengganggu, ajarkan kalimat-kalimat sederhana untuk membela diri tanpa berkelahi. Kita tidak bisa menyelesaikan semua masalahnya, tapi kita bisa membekalinya dengan alat yang tepat.
Konsistensi adalah kunci utama di sini. Ingat, pola asuh Otoritatif menekankan Tuntutan yang konsisten. Jika kita mengizinkan bolos sekolah hari ini karena rengekan, besok anak akan merengek lebih keras. Tegaslah pada aturan, tetapi lembutlah pada kebutuhan emosinya. Tuntutan untuk sekolah harus selalu ada, namun diiringi Ketanggapan untuk menyelesaikan masalah yang menghalangi mereka pergi.
Kita adalah "Arsitek Emosi." Kita harus terus memantau apakah fondasi emosional anak kuat. Kita harus secara rutin menanyakan dan mengamati apakah mereka tumbuh dengan percaya diri dan mampu mengatasi tantangan, yang merupakan hasil akhir dari ketangguhan. Dengan strategi yang kreatif dan konsisten, rengekan "Bunda, please gak sekolah, ya?" akan berubah menjadi, "Bunda, aku pulang!" dengan wajah ceria.
Kesimpulan
Menghadapi drama pagi anak yang malas sekolah memang menguras tenaga, tetapi ini adalah kesempatan bagi kita untuk menerapkan seni pengasuhan terbaik.Â
Dengan menjadi detektif yang memahami akar masalah (sosial, akademik, atau emosional), menerapkan seni membujuk yang kreatif (ritual pagi yang seru dan pilihan terbatas), dan mempertahankan konsistensi jangka panjang (komunikasi sekolah dan coping skills), kita berhasil mengubah keengganan menjadi kesiapan.Â
Ini bukan hanya tentang memastikan anak sampai di sekolah, tetapi tentang membangun mentalitas yang tangguh, di mana anak belajar bahwa tantangan (sekolah) harus dihadapi, dan orang tuanya selalu siap mendukung di belakangnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI