Saya tidak pernah menyangka bahwa lima tahun terakhir hidup saya akan diisi oleh satu hal: menunggu janji yang berulang kali diabaikan.Â
Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, di mana kebahagiaan dan hak saya dijanjikan akan diulurkan tangan, tetapi setiap kali saya hampir meraihnya, tangan itu ditarik kembali.Â
Ini bukan cerita tentang kehilangan uang semata, ini adalah kisah tentang bagaimana harapan palsu meruntuhkan kedamaian batin.
Sejak tahun 2019, saya mengenal seseorang. Hubungan ini melibatkan aset dan jasa yang saya miliki. Orang itu memanfaatkan apa yang menjadi milik saya.Â
Sejak awal, ada perjanjian, ada janji penyelesaian. Janji itu menyangkut hak saya yang seharusnya saya nikmati sejak lama.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti tahun. Setiap kali saya menanyakan kejelasan, selalu ada alasan baru, selalu ada janji baru.Â
Mereka berjanji akan menyelesaikannya pada tanggal tertentu, dan kemudian tanggal itu berlalu begitu saja tanpa ada realisasi.
Awalnya, saya mencoba bersabar. Saya berpikir, mungkin mereka sedang kesulitan. Mungkin ada halangan yang tidak bisa mereka hindari. Saya beri waktu, karena saya percaya pada itikad baik.
Namun, kepercayaan itu mulai terkikis. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi janji itu gagal berkali-kali. Setiap kegagalan adalah pukulan kecil di dada. Setiap kata "nanti" terasa seperti menipu.
Puncaknya, mereka menjanjikan penyelesaian akhir pada September 2025. Itu artinya, lima tahun penantian akan berakhir. Saya mencoba menahan diri untuk tidak terlalu berharap, tetapi jauh di lubuk hati, ada secercah cahaya.
Sayangnya, realitas menghantam dengan keras. Tanggal itu semakin dekat, dan tanda-tanda penyelesaian tidak terlihat sama sekali. Ketika saya cek, keadaannya nol, nihil. Tidak ada langkah maju, hanya janji kosong yang tersisa.
Perasaan kecewa itu bercampur dengan kemarahan dan pertanyaan: Mengapa? Mengapa mereka tega mempermainkan hak dan emosi orang lain berkali-kali? Ini bukan hanya tentang harta, tapi tentang jasa dan integritas.
Saya sadar, saya telah menjadi korban dari harapan palsu yang terstruktur. Ini bukan hanya satu kali kesalahan, tapi sebuah pola yang berulang dan disengaja. Pengalaman ini benar-benar menguras energi mental saya.
Ketika Jasa Berubah Menjadi Beban Emosional
Masalah ini bukan murni soal nilai materi yang hilang. Yang jauh lebih menyakitkan adalah nilai jasa yang saya berikan. Jasa dan upaya yang saya curahkan dimanfaatkan sepenuhnya, tetapi imbalannya hanyalah janji tanpa realisasi.
Saya membandingkan pengalaman ini dengan janji palsu lainnya yang saya alami. Ternyata, ini adalah kali keempat dalam hidup saya saya diberi harapan, lalu dihempaskan. Empat kali saya menaruh kepercayaan, empat kali pula saya menelan kekecewaan.
Ini menciptakan beban emosional yang berat. Saya mulai mempertanyakan diri sendiri. Apakah saya terlalu mudah percaya? Apakah saya terlalu baik hati sehingga orang lain merasa bebas untuk memanfaatkan?
Setiap janji yang diingkari itu ibarat hutang yang tidak terbayar, bukan hutang uang, melainkan hutang kedamaian hati. Setiap hari saya harus membawa beban janji orang lain yang mereka sendiri tidak peduli.
Saya merasa hak saya sebagai manusia untuk hidup tenang dan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik saya telah dirampas secara halus, melalui serangkaian kata-kata manis yang tak pernah menjadi perbuatan nyata.
Kisah tahun 2019 hingga 2025 ini menjadi monumen kegagalan integritas mereka dan ketabahan saya. Aset saya dipakai, jasa saya digunakan, dan balasan yang saya terima hanyalah angka nol.
Angka nol itu bukan hanya nilai kerugian, tapi simbol dari nihilnya rasa tanggung jawab dan komitmen dari pihak yang bersangkutan. Mereka mengambil keuntungan tanpa mau menanggung kewajiban.
Dilema Antara Tawakal dan Revolusi Ikhitiar
Setelah semua yang terjadi, muncul pertanyaan besar dalam hati: Apakah semua ini adalah ujian dari Allah SWT? Apakah ini tanda bahwa saya harus lebih sabar dan tawakal? Atau, apakah ini tanda bahwa saya kurang ikhitiar (usaha) yang benar?
Saya mencoba bersabar. Saya berdoa, memohon petunjuk. Saya berusaha menerima bahwa hasil akhir ada di tangan-Nya, bukan di tangan manusia yang ingkar janji. Itulah tawakal.
Namun, di sisi lain, hati kecil saya berontak. Apakah tawakal berarti pasrah tanpa berbuat apa-apa, membiarkan hak saya terus digantung? Tentu tidak. Tawakal yang sejati harus didahului oleh ikhitiar yang maksimal.
Saya menyadari, ikhitiar saya selama ini adalah ikhitiar yang salah. Usaha saya hanyalah menunggu, berharap, dan percaya pada janji lisan mereka yang sudah terbukti tidak bisa dipegang. Itu bukan ikhitiar, itu namanya menggantungkan diri.
Saatnya untuk melakukan Revolusi Ikhitiar. Saya harus berhenti menunggu mereka beritikad baik. Saya harus mengambil tindakan nyata dan strategis untuk mendapatkan hak saya kembali, tanpa bergantung pada janji-janji lisan mereka lagi.
Revolusi ikhitiar ini berarti mengubah fokus. Bukan lagi fokus pada karakter mereka, tetapi fokus pada jalur hukum, administrasi, atau strategi lain yang memaksa penyelesaian, atau setidaknya melindungi aset yang tersisa.
Proses ini mengajarkan saya bahwa tawakal bukanlah alat untuk menutupi kemalasan bertindak, melainkan kekuatan batin yang muncul setelah kita telah melakukan segala upaya terbaik yang bisa dilakukan.
Lahirnya Kekuatan di Titik Nihil
Titik nihil atau nol ini, di mana semua harapan palsu runtuh, ternyata menjadi titik balik terpenting dalam hidup saya. Ketika janji manusia tidak bisa lagi dipercaya, yang tersisa hanyalah kekuatan diri sendiri dan keyakinan pada Takdir.
Kekecewaan ini menjadi guru yang keras. Ia mengajarkan saya untuk lebih tegas dalam bernegosiasi, lebih teliti dalam membuat perjanjian tertulis, dan yang terpenting, lebih selektif dalam memilih orang untuk dipercaya.
Lima tahun ini memang menyakitkan, tetapi ia mengasah ketahanan batin saya. Saya belajar bahwa rasa sakit yang berulang adalah pupuk untuk kedewasaan.
Kisah jasa yang di-nol-kan ini akhirnya bermetamorfosis menjadi sebuah seni, Seni Bertawakal. Seni ini adalah kemampuan untuk melepaskan hasil yang ada di tangan orang lain, sembari berjuang keras untuk menegakkan hak sendiri.
Pengalaman ini menutup satu babak kehidupan yang penuh janji palsu dan membuka babak baru yang berlandaskan tindakan nyata dan prinsip diri yang kokoh.
Kesimpulan
Kisah "Jasa yang di-nol-kan" adalah pengingat keras bahwa janji manusia, meskipun berulang kali diucapkan, bisa bernilai nol. Namun, titik nol ini bukanlah akhir, melainkan pemicu untuk revolusi batin.Â
Kekecewaan yang berulang mengajarkan seni tawakal yang sejati: bukan pasrah, melainkan berani bertindak dengan ikhitiar yang benar dan strategis, sambil menyerahkan hasil akhir hanya kepada Tuhan.Â
Saya tidak akan lagi menunggu; saya akan bertindak. Saya telah belajar bahwa hak saya tidak boleh digantung pada ucapan orang yang ingkar janji.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI