Setelah semua yang terjadi, muncul pertanyaan besar dalam hati: Apakah semua ini adalah ujian dari Allah SWT? Apakah ini tanda bahwa saya harus lebih sabar dan tawakal? Atau, apakah ini tanda bahwa saya kurang ikhitiar (usaha) yang benar?
Saya mencoba bersabar. Saya berdoa, memohon petunjuk. Saya berusaha menerima bahwa hasil akhir ada di tangan-Nya, bukan di tangan manusia yang ingkar janji. Itulah tawakal.
Namun, di sisi lain, hati kecil saya berontak. Apakah tawakal berarti pasrah tanpa berbuat apa-apa, membiarkan hak saya terus digantung? Tentu tidak. Tawakal yang sejati harus didahului oleh ikhitiar yang maksimal.
Saya menyadari, ikhitiar saya selama ini adalah ikhitiar yang salah. Usaha saya hanyalah menunggu, berharap, dan percaya pada janji lisan mereka yang sudah terbukti tidak bisa dipegang. Itu bukan ikhitiar, itu namanya menggantungkan diri.
Saatnya untuk melakukan Revolusi Ikhitiar. Saya harus berhenti menunggu mereka beritikad baik. Saya harus mengambil tindakan nyata dan strategis untuk mendapatkan hak saya kembali, tanpa bergantung pada janji-janji lisan mereka lagi.
Revolusi ikhitiar ini berarti mengubah fokus. Bukan lagi fokus pada karakter mereka, tetapi fokus pada jalur hukum, administrasi, atau strategi lain yang memaksa penyelesaian, atau setidaknya melindungi aset yang tersisa.
Proses ini mengajarkan saya bahwa tawakal bukanlah alat untuk menutupi kemalasan bertindak, melainkan kekuatan batin yang muncul setelah kita telah melakukan segala upaya terbaik yang bisa dilakukan.
Lahirnya Kekuatan di Titik Nihil
Titik nihil atau nol ini, di mana semua harapan palsu runtuh, ternyata menjadi titik balik terpenting dalam hidup saya. Ketika janji manusia tidak bisa lagi dipercaya, yang tersisa hanyalah kekuatan diri sendiri dan keyakinan pada Takdir.
Kekecewaan ini menjadi guru yang keras. Ia mengajarkan saya untuk lebih tegas dalam bernegosiasi, lebih teliti dalam membuat perjanjian tertulis, dan yang terpenting, lebih selektif dalam memilih orang untuk dipercaya.
Lima tahun ini memang menyakitkan, tetapi ia mengasah ketahanan batin saya. Saya belajar bahwa rasa sakit yang berulang adalah pupuk untuk kedewasaan.