Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Tumis Jagungnya Nggak Ada Rasa, Mih": Ketika Program Bergizi Berhadapan dengan Selera Anak

6 Oktober 2025   21:10 Diperbarui: 6 Oktober 2025   21:10 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh menu makan bergizi gratis ala MBG. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Pagi ini terasa sedikit berbeda dari empat hari sebelumnya. Ade (sebutan sayang untuk anak saudara saya) yang biasanya selalu menolak sarapan dengan alasan sudah ada MBG (Makan Bergizi Gratis) di sekolah, kali ini justru meminta makan dulu sebelum berangkat. 

Untung Mamihnya sudah sigap sejak Subuh, sibuk dengan bunyi pak pik pek di dapur, membereskan rumah sambil menyiapkan masakan sederhana untuk keluarga.

Kali ini, Mamih masak agak banyak, sekalian untuk makan siang nanti. Ada ayam goreng hangat, perkedel kentang yang gurih, dan tumis kangkung segar. Aroma masakan memenuhi rumah, membuat pagi itu terasa lebih bersahabat. 

Kebahagiaan kecil ini setidaknya bisa menutupi kekhawatiran yang sempat muncul beberapa hari terakhir karena Ade sering berangkat sekolah dengan perut kosong, mengandalkan jatah dari program sekolah.

Sambil menikmati sarapan, Ade mulai bercerita tentang pengalaman MBG di hari keempat. Menunya memang cukup lengkap: nasi, dadar telur, tempe, dan tumis jagung. 

Namun, wajahnya terlihat datar ketika ia menyampaikan, "Rasanya hambar, tumis jagungnya nggak ada rasa, dan porsinya juga kurang banyak, Mih." Raut kekecewaan itu tidak bisa disembunyikan. 

Ade bersekolah di salah satu sekolah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), dan cerita ini menjadi penggalan nyata yang saya dengar langsung dari walinya.

Saya hanya tersenyum, berusaha memahami rasa kecewa Ade. Ia tahu, program ini niatnya baik, tapi tetap saja lidah anak-anak terbiasa dengan masakan rumah yang penuh rasa dan kasih sayang. 

Dalam hati, saya bersyukur masih bisa menyiapkan sarapan sendiri untuk keluarga, setidaknya Ade tetap berangkat sekolah dengan perut yang terisi dan hati yang lebih tenang. 

Ternyata, buat anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, MBG itu bukan hanya soal bergizi, tapi juga harus bisa mengenyangkan. Sebab, perut yang lapar sulit diajak fokus belajar, sementara hati yang puas setelah makan bisa membuat anak lebih semangat menjalani hari.

Tantangan Rasa dan Kuantitas dalam Pelaksanaan Program

Cerita MBG yang disampaikan Ade bukan sekadar keluhan anak manja. Ini adalah refleksi dari tantangan besar dalam mengimplementasikan program berskala besar. 

Tujuan program ini mulia, yakni memastikan setiap anak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan fisik dan kemampuan belajarnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang pemisah antara idealisme program dan eksekusi di dapur umum.

Masalah rasa hambar menjadi poin krusial. Rasa adalah gerbang utama penerimaan makanan, terutama bagi anak-anak. Makanan yang tidak enak, meskipun bergizi, cenderung akan disisakan atau bahkan dibuang. 

Dalam konteks ini, tumis jagung yang 'nggak ada rasa' adalah simbol dari menu yang gagal diterima lidah anak. Program gizi harus juga mempertimbangkan aspek palatabilitas atau kenikmatan rasa. 

Kualitas masakan rumah yang penuh bumbu dan disajikan dengan cinta seringkali menjadi standar tak tertulis yang sulit ditiru oleh penyedia katering atau dapur umum massal.

Selain rasa, isu kuantitas porsi juga muncul ke permukaan. Ade menyebut porsinya 'kurang banyak.' Bagi anak SD yang aktif, asupan energi yang cukup sangat penting. 

Porsi yang dirancang untuk standar gizi minimum mungkin tidak selalu memadai untuk kebutuhan energi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan pesat dan padat aktivitas belajar. 

Jika anak masih merasa lapar setelah makan, fokus belajarnya pasti akan terganggu. Hal ini berlawanan dengan tujuan utama program untuk meningkatkan konsentrasi dan prestasi akademis.

Penyelenggara program, seperti yang terjadi di KBB, mungkin dihadapkan pada kendala anggaran, logistik, dan standarisasi resep. Anggaran yang terbatas seringkali menuntut penggunaan bahan baku dan bumbu yang lebih efisien, yang berisiko mengorbankan kualitas rasa. 

Sementara itu, menjaga standar kebersihan dan keamanan pangan dalam skala besar juga menjadi tantangan yang tak kalah penting. Namun, semua kendala ini seharusnya tidak mengorbankan dua aspek fundamental: rasa yang bisa diterima dan kuantitas yang mengenyangkan.

Harapan dan Solusi Praktis untuk Masa Depan Program Gizi

Mendengar keluhan Ade, timbul pemikiran bahwa solusi untuk program gizi anak sekolah tidak bisa hanya berfokus pada kandungan nutrisi. Program ini harus melibatkan pendekatan holistik yang menggabungkan gizi, rasa, dan kuantitas. 

Ini membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, penyedia katering, dan bahkan melibatkan orang tua untuk memberikan feedback yang konstruktif.

Langkah pertama yang bisa diambil adalah melakukan survei selera secara berkala kepada murid-murid. Dengan mengetahui menu apa yang paling disukai dan seberapa besar porsi yang mereka anggap cukup, program dapat disesuaikan tanpa mengurangi nilai gizi. 

Misalnya, jika tumis jagung hambar, mungkin bisa diganti dengan jagung rebus yang diberi sedikit garam dan keju parut (jika anggaran memungkinkan) atau diolah menjadi perkedel jagung yang lebih akrab di lidah anak.

Kedua, perlu adanya pelatihan bagi juru masak atau katering tentang teknik memasak dalam jumlah besar yang tetap mempertahankan rasa. 

Menggunakan bumbu alami yang kaya rasa, seperti bawang putih, bawang merah, dan rempah lain, bisa menjadi kunci untuk meningkatkan palatabilitas tanpa harus menambah bahan pengawet atau penyedap rasa buatan secara berlebihan. Rasa adalah investasi penting dalam keberhasilan program gizi.

Ketiga, perlu adanya fleksibilitas porsi berdasarkan usia dan tingkat aktivitas. Standar porsi bisa dibuat berjenjang, misalnya untuk anak kelas 1-3 dan anak kelas 4-6. Dengan begitu, kebutuhan energi yang berbeda dapat diakomodasi. 

Kualitas pengawasan juga harus ditingkatkan. Setiap masukan dari orang tua, seperti cerita MBG dari Lembang ini, harus dianggap sebagai data berharga untuk perbaikan berkelanjutan. 

Program ini adalah investasi pada masa depan bangsa, dan keberhasilannya diukur bukan hanya dari angka gizi, tetapi juga dari senyum puas di wajah anak-anak setelah mereka selesai makan.

Kesimpulan

Pengalaman Ade dengan "tumis jagung yang nggak ada rasa" menjadi cerminan bahwa program MBG yang sangat mulia ini masih memerlukan penyesuaian di tingkat implementasi. Tujuannya memberi gizi dan memastikan anak siap belajar adalah benar. Namun, tujuan itu hanya akan tercapai jika makanan yang disajikan memenuhi tiga kriteria dasar: Bergizi, Berasa Enak, dan Mengenyangkan. 

Kisah dari Kecamatan Lembang, KBB, ini adalah pengingat bagi semua pihak bahwa keberhasilan program gizi anak sekolah berakar pada detail sederhana, yakni memastikan bahwa makanan yang ada di piring mereka adalah makanan yang mereka suka, nikmati, dan habiskan, sehingga setiap anak bisa berangkat sekolah dengan perut terisi, hati tenang, dan semangat belajar yang optimal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun