Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Tumis Jagungnya Nggak Ada Rasa, Mih": Ketika Program Bergizi Berhadapan dengan Selera Anak

6 Oktober 2025   21:10 Diperbarui: 6 Oktober 2025   21:10 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh menu makan bergizi gratis ala MBG. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Cerita MBG yang disampaikan Ade bukan sekadar keluhan anak manja. Ini adalah refleksi dari tantangan besar dalam mengimplementasikan program berskala besar. 

Tujuan program ini mulia, yakni memastikan setiap anak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan fisik dan kemampuan belajarnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang pemisah antara idealisme program dan eksekusi di dapur umum.

Masalah rasa hambar menjadi poin krusial. Rasa adalah gerbang utama penerimaan makanan, terutama bagi anak-anak. Makanan yang tidak enak, meskipun bergizi, cenderung akan disisakan atau bahkan dibuang. 

Dalam konteks ini, tumis jagung yang 'nggak ada rasa' adalah simbol dari menu yang gagal diterima lidah anak. Program gizi harus juga mempertimbangkan aspek palatabilitas atau kenikmatan rasa. 

Kualitas masakan rumah yang penuh bumbu dan disajikan dengan cinta seringkali menjadi standar tak tertulis yang sulit ditiru oleh penyedia katering atau dapur umum massal.

Selain rasa, isu kuantitas porsi juga muncul ke permukaan. Ade menyebut porsinya 'kurang banyak.' Bagi anak SD yang aktif, asupan energi yang cukup sangat penting. 

Porsi yang dirancang untuk standar gizi minimum mungkin tidak selalu memadai untuk kebutuhan energi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan pesat dan padat aktivitas belajar. 

Jika anak masih merasa lapar setelah makan, fokus belajarnya pasti akan terganggu. Hal ini berlawanan dengan tujuan utama program untuk meningkatkan konsentrasi dan prestasi akademis.

Penyelenggara program, seperti yang terjadi di KBB, mungkin dihadapkan pada kendala anggaran, logistik, dan standarisasi resep. Anggaran yang terbatas seringkali menuntut penggunaan bahan baku dan bumbu yang lebih efisien, yang berisiko mengorbankan kualitas rasa. 

Sementara itu, menjaga standar kebersihan dan keamanan pangan dalam skala besar juga menjadi tantangan yang tak kalah penting. Namun, semua kendala ini seharusnya tidak mengorbankan dua aspek fundamental: rasa yang bisa diterima dan kuantitas yang mengenyangkan.

Harapan dan Solusi Praktis untuk Masa Depan Program Gizi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun