Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membaca Saja Sulit, Apalagi Memimpin?

25 September 2025   14:57 Diperbarui: 25 September 2025   14:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Darurat baca pejabat kita. Membaca saja sulit, apalagi memimpin? | Image by Pexels/Andrea Piacquadio

Di era serba digital ini, kita tak terkejut lagi melihat para pejabat kita asyik dengan gawai di tangan. Mereka hadir di berbagai acara, berinteraksi di media sosial, dan sibuk dengan agenda harian yang padat. 

Namun, pertanyaan yang jarang mencuat dan perlu kita renungkan adalah di tengah kesibukan itu, seberapa banyak waktu yang mereka sisihkan untuk membaca buku? 

Kebiasaan membaca buku, yang sejatinya adalah fondasi untuk melahirkan ide-ide besar dan kebijakan yang matang, seolah tergeser oleh hiruk pikuk panggung digital. 

Kita menyaksikan pejabat dengan bangga memamerkan kemewahan, mobil mahal, dan jam tangan mewah, tetapi jarang sekali kita melihat mereka memamerkan tumpukan buku yang telah mereka baca. 

Ironisnya, dari buku lah lahir pemahaman mendalam tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat. Tanpa membaca, seorang pejabat bisa jadi hanya bergerak tanpa arah, membuat kebijakan yang reaktif dan serba instan, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Pejabat yang jarang membaca buku akan cenderung terjebak dalam pola pikir dangkal. Mereka hanya mengandalkan informasi yang ada di permukaan, dari berita viral atau obrolan singkat, tanpa pernah menggali lebih dalam. 

Padahal, kompleksitas masalah negara tidak bisa diselesaikan dengan pemahaman yang sepotong-sepotong. Misalnya, untuk mengatasi kemiskinan, seorang pejabat tidak bisa hanya berbekal data statistik yang mudah didapat. 

Mereka harus memahami akar masalahnya, sejarah kemiskinan di suatu wilayah, dinamika sosial dan budaya masyarakatnya, serta berbagai teori ekonomi yang relevan. Pemahaman ini hanya bisa didapat dari membaca buku-buku yang serius dan mendalam. 

Tanpa literasi, kebijakan yang lahir bisa jadi hanya bersifat kosmetik, seperti proyek-proyek instan yang hanya bertujuan untuk pencitraan, tanpa benar-benar menyentuh inti persoalan.

Kita pun layak bertanya, jika membaca satu buku saja sudah terasa sulit, bagaimana seorang pejabat bisa mengelola negara dengan segala kerumitannya? 

Memimpin sebuah negara bukan hanya soal mengelola anggaran atau mengatur birokrasi, tetapi juga tentang memahami psikologi rakyat, meramalkan tren global, dan merancang strategi yang visioner. 

Semua itu butuh pemikiran yang luas dan mendalam, yang hanya bisa dibentuk melalui kebiasaan membaca. Tanpa membaca, seorang pejabat bisa saja membuat keputusan yang salah, tidak relevan, bahkan merugikan rakyat. 

Kondisi ini bisa kita sebut sebagai Darurat Baca Pejabat. Kondisi di mana para pemimpin kita tidak memiliki cukup bekal pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat. 

Dampaknya bisa kita rasakan bersama: kebijakan yang tumpang tindih, program yang tidak berkelanjutan, dan janji-janji yang tidak terpenuhi.

Ketika Kebijakan Lahir dari Media Sosial, Bukan dari Buku

Fenomena di mana pejabat lebih sering berinteraksi dengan media sosial ketimbang buku bukan tanpa risiko. Kebijakan yang didorong oleh viralitas di media sosial cenderung reaktif dan terburu-buru. 

Pejabat bisa saja membuat keputusan hanya untuk merespons kritik warganet, tanpa melakukan kajian mendalam. Sebagai contoh, ada kasus di mana sebuah kebijakan diluncurkan karena "ramai dibicarakan" di Twitter, bukan karena adanya studi kelayakan yang komprehensif. 

Kebijakan semacam ini seringkali hanya berumur pendek dan tidak efektif. Ia tidak didasari oleh data yang valid atau pemikiran yang matang, melainkan hanya didasari oleh keinginan untuk tampil responsif di mata publik.

Buku, sebaliknya, menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendalam. Di dalamnya, kita bisa menemukan sejarah, teori, dan studi kasus yang relevan dengan masalah-masalah kontemporer. 

Misalnya, membaca buku tentang sejarah kebijakan publik bisa membantu seorang pejabat menghindari kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh pendahulunya. 

Membaca buku tentang ekonomi bisa membantu mereka merancang kebijakan fiskal yang lebih bijaksana. Dan membaca buku tentang sosiologi bisa membantu mereka memahami dinamika masyarakat dan merancang program-program yang lebih tepat sasaran. 

Singkatnya, buku adalah alat untuk berpikir dan merancang, bukan hanya untuk bereaksi.

Tanpa membaca, seorang pejabat bisa dengan mudah dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang sempit dan bias. Mereka mungkin hanya berinteraksi dengan lingkaran yang terbatas, yang memiliki pandangan yang seragam. 

Buku membuka jendela ke dunia lain, ke berbagai perspektif yang berbeda. Ia memungkinkan seorang pejabat untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang, memahami argumen yang berlawanan, dan akhirnya membuat keputusan yang lebih seimbang dan adil. 

Jadi, ketika kita melihat seorang pejabat yang kebijakan-kebijakannya terasa dangkal, kita mungkin bisa menebak bahwa ia jarang meluangkan waktu untuk membaca buku.

Pentingnya Buku untuk Visi dan Empati

Membaca buku bukan hanya tentang mengumpulkan informasi atau data. Lebih dari itu, membaca juga tentang membentuk karakter, membangun visi, dan melahirkan empati. 

Buku-buku fiksi, misalnya, bisa membantu seorang pejabat memahami kompleksitas emosi manusia dan realitas kehidupan rakyat yang beragam. Mereka bisa merasakan perjuangan seorang buruh, penderitaan seorang petani, atau harapan seorang anak miskin, hanya dengan membaca kisah-kisah mereka. 

Empati ini sangat penting agar kebijakan yang dibuat tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi juga manusiawi dan berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.

Buku-buku biografi dan sejarah juga sangat penting bagi pejabat. Dengan membaca biografi pemimpin-pemimpin besar dunia, mereka bisa belajar tentang kepemimpinan, kegagalan, dan keberhasilan. 

Mereka bisa memahami bahwa memimpin adalah sebuah seni, bukan hanya sebuah jabatan. Membaca sejarah bisa membantu mereka memahami bahwa setiap keputusan yang diambil hari ini akan memiliki dampak di masa depan. 

Hal ini bisa memicu mereka untuk berpikir lebih jauh, merancang visi jangka panjang yang tidak hanya berlaku selama masa jabatan, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Buku adalah sekolah tanpa batas. Ia tidak menuntut kita untuk hadir di kelas atau mengikuti jadwal tertentu. Ia bisa kita baca di mana saja dan kapan saja, dan ia selalu siap untuk mengajarkan kita hal-hal baru. 

Bagi seorang pejabat, buku seharusnya menjadi teman setia, sumber inspirasi, dan penasihat yang bijaksana. Dengan begitu, mereka bisa tumbuh menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dan berempati. 

Mari kita terus mendorong dan menuntut para pemimpin kita untuk lebih banyak membaca, demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Kesimpulan

Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa ada kaitan erat antara kebiasaan membaca seorang pejabat dan kualitas kebijakan yang mereka hasilkan. Kebijakan yang matang dan berpihak pada rakyat hanya bisa lahir dari pikiran yang matang, yang terus-menerus diasah oleh pengetahuan dan wawasan. 

Jika membaca buku saja sulit, mustahil kita bisa berharap seorang pejabat akan mampu mengelola kompleksitas negara dan membuat keputusan yang benar-benar bijaksana. 

Darurat baca pejabat bukanlah sekadar isu sepele, melainkan sebuah persoalan mendasar yang bisa menentukan arah masa depan bangsa. Penting bagi kita semua untuk terus menyuarakan pentingnya literasi bagi para pemimpin, agar mereka bisa memimpin tidak hanya dengan kekuasaan, tetapi juga dengan kebijaksanaan dan hati nurani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun