Semua itu butuh pemikiran yang luas dan mendalam, yang hanya bisa dibentuk melalui kebiasaan membaca. Tanpa membaca, seorang pejabat bisa saja membuat keputusan yang salah, tidak relevan, bahkan merugikan rakyat.Â
Kondisi ini bisa kita sebut sebagai Darurat Baca Pejabat. Kondisi di mana para pemimpin kita tidak memiliki cukup bekal pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat.Â
Dampaknya bisa kita rasakan bersama: kebijakan yang tumpang tindih, program yang tidak berkelanjutan, dan janji-janji yang tidak terpenuhi.
Ketika Kebijakan Lahir dari Media Sosial, Bukan dari Buku
Fenomena di mana pejabat lebih sering berinteraksi dengan media sosial ketimbang buku bukan tanpa risiko. Kebijakan yang didorong oleh viralitas di media sosial cenderung reaktif dan terburu-buru.Â
Pejabat bisa saja membuat keputusan hanya untuk merespons kritik warganet, tanpa melakukan kajian mendalam. Sebagai contoh, ada kasus di mana sebuah kebijakan diluncurkan karena "ramai dibicarakan" di Twitter, bukan karena adanya studi kelayakan yang komprehensif.Â
Kebijakan semacam ini seringkali hanya berumur pendek dan tidak efektif. Ia tidak didasari oleh data yang valid atau pemikiran yang matang, melainkan hanya didasari oleh keinginan untuk tampil responsif di mata publik.
Buku, sebaliknya, menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendalam. Di dalamnya, kita bisa menemukan sejarah, teori, dan studi kasus yang relevan dengan masalah-masalah kontemporer.Â
Misalnya, membaca buku tentang sejarah kebijakan publik bisa membantu seorang pejabat menghindari kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh pendahulunya.Â
Membaca buku tentang ekonomi bisa membantu mereka merancang kebijakan fiskal yang lebih bijaksana. Dan membaca buku tentang sosiologi bisa membantu mereka memahami dinamika masyarakat dan merancang program-program yang lebih tepat sasaran.Â
Singkatnya, buku adalah alat untuk berpikir dan merancang, bukan hanya untuk bereaksi.