Tahun 1999 menjadi salah satu fase paling sibuk dalam hidup saya. Sebagai seorang pengajar, saya punya rutinitas yang padat, dan di saat yang sama, saya juga sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah.Â
Jadwal yang berpacu dengan waktu itu membuat saya berpikir dua kali untuk menambah kesibukan. Namun, sebuah panggilan hati tak bisa saya tolak, yaitu menjadi relawan di Wyata Guna, sebuah panti rehabilitasi tunanetra yang legendaris di Jalan Pajajaran, Kota Bandung.
Keputusan itu bermula dari keinginan sederhana untuk berbagi ilmu, terutama bimbingan membaca Al-Qur'an. Saya membayangkan akan ada tantangan besar di depan, mengingat saya belum pernah berinteraksi secara intens dengan penyandang disabilitas tunanetra sebelumnya.Â
Sebagai seorang caregiver atau pendamping, tugas saya bukan hanya mengajar, tetapi juga memastikan mereka merasa nyaman dan dihargai.Â
Tujuannya adalah membantu mereka menemukan cara untuk terkoneksi dengan Al-Qur'an, bukan hanya lewat lisan, tetapi juga lewat perasaan dan hati.
Menjadi Caregiver untuk Jiwa yang Haus Ilmu
Hari pertama saya tiba di Wyata Guna, suasana panti terasa sunyi, namun penuh aktivitas. Suara langkah kaki dan tongkat yang menyentuh lantai menjadi irama khas di sana. Di sebuah ruangan kelas, saya disambut oleh belasan orang yang sudah duduk rapi, siap memulai pelajaran.Â
Mereka adalah para penghuni panti yang semangatnya begitu besar untuk belajar membaca Al-Qur'an, sebuah keinginan yang tidak pernah pudar meskipun mereka tidak bisa melihat huruf-hurufnya. Saya duduk di depan mereka, merasakan aura ketulusan yang begitu kuat.
Tugas pertama saya adalah memahami cara mereka membaca. Al-Qur'an Braille memiliki tekstur unik, di mana huruf-hurufnya timbul dan harus diraba. Saya belajar cara mengidentifikasi huruf dan harakat dari perspektif mereka.Â
Itu adalah pelajaran pertama saya sebagai Caregiver; bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar dari cara pandang mereka. Saya menyadari, ini bukan sekadar tugas, melainkan sebuah pertukaran energi positif.
Setiap sesi bimbingan, saya akan duduk di samping mereka, memegang tangan mereka, dan mengarahkan jemari mereka pada titik-titik timbul di atas lembaran kertas.Â