"Ini huruf alif," saya berkata sambil menuntun jari mereka. "Ini ba," dan seterusnya. Proses ini membutuhkan kesabaran luar biasa. Terkadang, saya harus mengulang satu huruf berkali-kali sampai mereka benar-benar merasakan dan mengingatnya.
Mereka punya cara belajar yang luar biasa. Jika kita menggunakan mata untuk mengingat, mereka menggunakan sentuhan dan pendengaran. Saya sering kagum saat mereka bisa mengingat letak sebuah ayat hanya dengan meraba.Â
Memori mereka begitu tajam, seolah-olah kekurangan penglihatan diganti dengan kepekaan indra lainnya yang jauh lebih kuat.Â
Itu adalah hal yang sangat berharga untuk saya sebagai pengajar. Saya belajar untuk tidak menganggap enteng kemampuan orang lain.
Menggapai Cahaya Tanpa Melihat
Sesi belajar tidak selalu berjalan mulus. Ada saatnya mereka merasa frustrasi karena salah meraba atau salah melafalkan. Di momen seperti itu, peran saya sebagai Caregiver menjadi sangat penting.Â
Saya harus menjadi pendengar yang baik, memberikan motivasi, dan meyakinkan mereka bahwa kesalahan adalah bagian dari proses. "Tidak apa-apa, kita coba lagi," sering kali kalimat itu yang saya ucapkan.
Hubungan kami semakin erat. Mereka tidak hanya menganggap saya sebagai guru, tetapi juga sebagai teman dan pendamping. Mereka bercerita tentang kehidupan sehari-hari, tentang mimpi-mimpi mereka, dan tentang harapan.Â
Saya mendengarkan setiap cerita dengan seksama. Saya melihat bagaimana mereka menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi saya yang saat itu sering mengeluh tentang kesibukan.
Saya menyadari bahwa bimbingan Al-Qur'an ini adalah sebuah jembatan. Jembatan yang menghubungkan mereka dengan keyakinan, dengan spiritualitas, dan dengan diri mereka sendiri.Â
Al-Qur'an Braille bukan hanya sekadar buku, tetapi sebuah alat yang memungkinkan mereka untuk "melihat" keindahan firman Tuhan, meskipun tanpa menggunakan mata.