Langit Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada suatu Ahad yang cerah tampak membiru cerah.Â
Namun, di bawahnya, para petani padi di Kampung Cicadas tengah berjuang melawan tantangan alam. Musim panen kedua di tahun ini datang di tengah-tengah puncak musim kemarau.Â
Sumur-sumur mulai mengering dan retakan-retakan pada tanah telah menjadi pemandangan yang tak terhindarkan. Meski demikian, semangat para petani tidak ikut mengering.Â
Mereka tetap menyambut kedatangan panen raya, walaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kisah ketangguhan, kebersamaan, dan rasa syukur ini terukir di setiap bulir padi yang dipanen.
Panasnya terik matahari tidak menghalangi para petani untuk bekerja keras. Sejak pagi buta, mereka sudah berada di sawah, memanen padi dengan tangan terampil mereka.Â
Di antara mereka adalah Bubun, seorang petani berusia 60 tahun yang telah mengabdikan hidupnya untuk mengolah tanah. Raut wajahnya memancarkan kelelahan, tetapi matanya memancarkan ketenangan dan kepuasan.Â
Ia tahu betul perjuangan yang harus dilewati untuk sampai pada titik ini. Setiap langkah yang diambilnya, setiap tetes keringat yang jatuh, adalah bagian dari sebuah narasi tentang ketahanan dan harapan.
Bagi Bubun, panen kali ini memiliki makna yang mendalam. Ia bersyukur, "Alhamdulillah, hari ini saya bisa panen padi yang kedua kalinya pada musim ini," ungkapnya, Ahad (14/9/2025).
Ungkapan syukur itu bukan sekadar kata-kata kosong. Ia adalah cerminan dari hati yang tulus, yang memahami bahwa setiap panen adalah anugerah, terlepas dari jumlahnya.Â
Dalam percakapannya, Bubun tidak menutupi kenyataan. Ia mengakui, panen kali ini hasilnya sedikit menurun. Dari setengah hektar lahan, biasanya ia bisa mendapatkan 30 kuintal padi, namun kini hanya 26 kuintal.Â
Penurunan ini adalah konsekuensi logis dari tantangan yang ia hadapi seperti pasokan air yang berkurang dan serangan hama tikus yang kian merajalela.Â