Bayangan Masa Lalu dalam Cermin Reformasi
Tahun 1998 adalah tahun yang tak terlupakan bagi bangsa ini. Saat itu, rakyat bersatu dalam satu suara, menuntut perubahan besar yang dikenal sebagai Reformasi. Mahasiswa turun ke jalan, berteriak lantang melawan kekuasaan yang dianggap menindas.Â
Mereka menginginkan sebuah negara yang lebih demokratis, transparan, dan adil. Tuntutan utama mereka adalah kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, di mana suara rakyat benar-benar didengar dan dihormati.Â
Setelah sekian lama berada di bawah bayang-bayang otoritarianisme, harapan akan terwujudnya demokrasi sejati begitu membuncah di dada setiap warga.
Namun, harapan itu kini terlihat seperti fatamorgana. Menuju tiga dekade, demokrasi yang diidam-idamkan itu terasa pincang. Alih-alih menjadi kedaulatan rakyat, praktik politik di negara ini justru menunjukkan tanda-tanda kemunduran.Â
Kekuasaan kembali terpusat, bukan di tangan satu orang, melainkan di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar. Inilah awal dari paradoks reformasi: kita merayakan kejatuhan satu rezim, hanya untuk melihat kekuasaan baru bangkit dengan wajah yang berbeda.
Awalnya, sistem multipartai yang diterapkan setelah reformasi diharapkan dapat menjamin keberagaman suara. Namun, apa yang terjadi? Partai-partai politik berubah menjadi kendaraan bagi para elit.Â
Mereka sibuk mengamankan kursi, bukan memperjuangkan aspirasi rakyat. Janji-janji manis hanya diucapkan saat kampanye, sementara setelah terpilih, mereka lebih mementingkan kelompok dan kepentingan pribadi. Hal ini membuat banyak orang merasa bahwa sistem demokrasi yang ada hanya sebatas prosedur, bukan substansi.
Masyarakat mulai merasakan kekecewaan yang mendalam. Mereka melihat bagaimana wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan umum, justru sibuk mengurus proyek-proyek yang menguntungkan diri sendiri atau kroni-kroninya.Â
Wajah-wajah baru di panggung politik seringkali berasal dari lingkaran keluarga atau bisnis yang sama. Ini memunculkan pertanyaan: apakah kekuasaan benar-benar beralih ke tangan rakyat, atau hanya berpindah dari satu kelompok oligarki ke kelompok oligarki lainnya?
Salah satu ironi paling mencolok adalah bagaimana ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi tempat partisipasi rakyat, seringkali menjadi arena tawar-menawar politik yang tertutup.Â