Kenangan Mei '98, Gema yang Tak Pernah Padam
Mengingat kembali bulan Mei tahun 1998, ada sebuah gema yang terasa kembali kuat saat ini. Gema perjuangan mahasiswa yang saat itu berani turun ke jalan.Â
Kami berbondong-bondong menuju Senayan, tempat di mana kekuasaan Orde Baru bersemayam. Tuntutan kami sederhana yaitu turunkan Soeharto, tegakkan reformasi. Atmosfer saat itu terasa penuh harapan.Â
Kami percaya, setelah Orde Baru tumbang, Indonesia akan menjadi lebih baik. Kami yakin, wakil rakyat yang baru akan benar-benar menjadi suara kami.Â
Namun, pengalaman bertahun-tahun mengajarkan satu hal yaitu perjuangan itu tidak pernah selesai.
Hari-hari ini, saat melihat demo di DPR kembali mencuat, saya merasakan campuran nostalgia dan kekecewaan. Seolah waktu tidak bergerak maju.Â
Isu-isu yang dulu kami perjuangkan, seperti keadilan dan kesejahteraan, masih menjadi masalah utama. Para mahasiswa dan rakyat biasa hari ini menghadapi tantangan yang sama, bahkan mungkin lebih berat.Â
Mereka datang ke DPR bukan hanya untuk bersuara, tetapi untuk menagih janji yang tak pernah ditepati. Janji yang sudah usang, tertimbun di bawah tumpukan kepentingan pribadi para anggota dewan.
Perasaan pahit ini muncul karena janji-janji manis saat kampanye seringkali berbanding terbalik dengan kenyataan.Â
Dulu, mereka datang ke tengah-tengah rakyat, berjanji akan menjadi jembatan aspirasi. Mereka akan berjuang untuk rakyat miskin, menaikkan taraf hidup, dan memastikan keadilan.Â
Namun, setelah kursi kekuasaan didapat, rakyat ditinggalkan. Mereka lupa dari mana mereka berasal dan siapa yang memilih mereka.Â