Kondisinya baru diketahui saat sudah terlambat. Saat cacing-cacing itu sudah terlalu banyak, hingga akhirnya merenggut nyawanya. Kematian Raya bukan hanya karena cacingan, melainkan karena kelalaian sistem yang membiarkan seorang anak hidup dalam kondisi seperti itu tanpa intervensi.
Akses Kesehatan yang Jauh dari Harapan
Kampung Pandangeyan, tempat tinggal Raya, adalah salah satu dari sekian banyak wilayah yang sulit dijangkau. Jalanan menuju kampung itu rusak dan terjal. Transportasi umum nyaris tidak ada. Bagi penduduk yang tidak memiliki kendaraan pribadi, pergi ke puskesmas atau rumah sakit adalah sebuah tantangan berat.Â
Untuk berobat, mereka harus berjalan kaki atau mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sewa ojek. Bagi keluarga Raya, yang bahkan untuk makan saja sulit, biaya transportasi adalah hal yang mustahil.
Puskesmas terdekat mungkin tidak terlalu jauh secara jarak, tetapi secara akses, jarak itu terasa seperti ribuan kilometer. Keterbatasan ekonomi membuat mereka tidak bisa mencari pertolongan medis. Mereka mungkin sadar bahwa Raya sakit, tetapi tidak ada uang untuk membawa anak itu ke dokter.Â
Begitu juga dengan ayahnya yang sakit TBC. Ia membutuhkan pengobatan rutin, tetapi tidak bisa mendapatkannya karena masalah biaya dan akses. Sistem kesehatan yang ada seolah-olah hanya melayani mereka yang mampu dan memiliki akses mudah.
Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, berobat ke dokter adalah hal yang biasa. Obat cacing bisa dibeli di warung atau apotek dengan harga terjangkau. Namun, di kampung seperti Pandangeyan, hal itu tidak sesederhana itu. Mungkin tidak ada apotek atau toko obat di dekat sana.Â
Warga harus pergi ke kota untuk mendapatkan obat-obatan, sebuah perjalanan yang membutuhkan biaya. Kurangnya fasilitas kesehatan di desa-desa terpencil membuat mereka rentan terhadap penyakit.
Pemerintah sering kali menggembar-gemborkan program kesehatan gratis, tetapi dalam praktiknya, program itu tidak selalu sampai ke semua lapisan masyarakat. Ada banyak kendala birokrasi, administrasi, dan teknis di lapangan. Banyak orang yang tidak tahu cara mendaftar atau tidak memiliki dokumen yang lengkap.Â
Akibatnya, mereka yang paling membutuhkan, seperti keluarga Raya, justru tidak bisa memanfaatkan program tersebut. Mereka terjebak dalam kondisi yang serba salah, antara kebutuhan medis dan keterbatasan yang tidak bisa dihindari.
Kisah Raya adalah bukti bahwa akses kesehatan bukan hanya soal ada atau tidaknya fasilitas, tetapi juga soal kemampuan masyarakat untuk mencapainya. Biaya transportasi, waktu, dan kesulitan birokrasi menjadi penghalang besar.Â