Dulu, tebu adalah lambang kemakmuran. Di desa-desa, hamparan hijau tebu membentang sejauh mata memandang. Para petani dengan bangga merawat tanaman ini. Mereka tahu, dari setiap batang tebu yang mereka tanam, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.Â
Ada biaya sekolah anak, ada uang untuk perbaikan rumah, dan ada modal untuk musim tanam berikutnya. Senyum tulus terukir di wajah mereka setiap kali truk-truk besar datang mengangkut hasil panen. Mereka yakin, kerja keras mereka akan terbayar manis.
Namun, lambat laun, senyum itu mulai memudar. Kabar buruk mulai berembus, seperti angin kering yang membawa debu. Harga gula di pasaran terus menurun. Tidak hanya itu, biaya produksi justru naik.Â
Harga pupuk melambung, upah buruh tani semakin mahal, dan perawatan tanaman membutuhkan modal yang tidak sedikit. Petani mulai mengernyitkan dahi. Mereka bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa jerih payah mereka tidak lagi dihargai?
Mereka mencoba bertahan. Beberapa petani mencoba menekan biaya dengan mengurangi penggunaan pupuk. Hasilnya, kualitas tebu menurun. Batangnya menjadi lebih kurus, kandungan gulanya pun tidak maksimal.Â
Pilihan lain, mereka bekerja lebih keras lagi, menghemat setiap rupiah, berharap harga akan membaik di musim berikutnya. Harapan itu seperti ilusi yang terus menerus mengecoh. Harga gula tetap stagnan, bahkan cenderung turun. Keuntungan yang didapat semakin tipis.
Kini, hamparan tebu yang dulu hijau dan lebat mulai berkurang. Banyak petani yang beralih menanam komoditas lain, seperti jagung atau singkong, yang dianggap lebih menjanjikan. Namun, beralih pun bukan perkara mudah. Tanah yang sudah terbiasa dengan tebu perlu penyesuaian. Peralatan tani yang ada juga tidak cocok.Â
Proses adaptasi ini memakan waktu dan modal. Mereka terjebak dalam dilema yang pelik. Melanjutkan menanam tebu, mereka merugi. Beralih ke tanaman lain, mereka tidak punya modal dan harus memulai dari nol.
Pabrik gula yang menjadi harapan mereka pun kini menjadi sumber kekecewaan. Mereka merasa tidak adil. Kualitas tebu petani sering kali dinilai rendah, sehingga harga beli dari pabrik tidak sesuai dengan harapan. Alat timbang yang tidak transparan sering menjadi keluhan. Petani merasa dipermainkan.Â
Mereka adalah pemilik tebu, tetapi mereka merasa tidak punya kendali sama sekali. Mereka hanya bisa pasrah, menerima harga berapapun yang diberikan pabrik, tanpa bisa menawar.
Suasana di desa kini berbeda. Obrolan para petani di warung kopi bukan lagi soal rencana panen atau mimpi-mimpi indah. Kini, obrolan didominasi keluh kesah dan rasa putus asa. Mereka menceritakan kerugian yang mereka alami, hutang yang semakin menumpuk, dan masa depan anak-anak yang terancam.Â