Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manis yang Pahit: Kisah Pilu Gula Petani Kita

6 Agustus 2025   00:03 Diperbarui: 6 Agustus 2025   00:03 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani di kebun tebu di Desa Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (2/5/2017). (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Beberapa petani bahkan harus menjual sebagian tanah mereka untuk menutupi hutang. Impian untuk hidup sejahtera dari hasil tebu kini terasa seperti lelucon yang pahit.

Petani gula lokal kini dihadapkan pada persaingan yang tidak seimbang. Gula impor masuk dengan harga yang jauh lebih murah. Pemerintah seolah-olah lebih berpihak pada gula impor, membuka keran impor lebar-lebar. 

Akibatnya, gula produksi dalam negeri tidak bisa bersaing. Harga gula petani jatuh, tidak ada yang mau membeli dengan harga tinggi. Mereka merasa terpinggirkan di tanah airnya sendiri.

Kisah pilu ini terus berlanjut. Banyak anak muda di desa kini enggan menjadi petani. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana orang tua mereka berjuang mati-matian, tetapi hasilnya tidak sebanding. Mereka melihat air mata dan keringat yang tidak pernah membuahkan hasil manis. 

Mereka memilih pergi ke kota, mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, meninggalkan sawah dan ladang yang menjadi warisan leluhur mereka. Masa depan pertanian tebu di Indonesia semakin suram.

Persaingan Harga dan Kebijakan Impor yang Tidak Berpihak

Persoalan utama yang mendera petani tebu adalah harga. Harga gula petani sangat fluktuatif, tetapi cenderung rendah. Hal ini diperparah dengan kebijakan impor gula yang masif. Pemerintah seringkali mengizinkan impor gula, bahkan pada saat panen raya tiba. 

Akibatnya, stok gula di pasaran melimpah, dan harga gula lokal menjadi tertekan. Gula impor ini seringkali dijual dengan harga yang jauh lebih murah karena biaya produksinya yang rendah di negara asal. Petani kita tidak bisa bersaing. Mereka harus menjual tebu dengan harga yang tidak menutupi biaya produksi.

Kebijakan ini terasa tidak adil bagi petani. Di satu sisi, pemerintah selalu menyerukan swasembada gula. Di sisi lain, mereka membuka keran impor selebar-lebarnya. Petani merasa seperti menjadi korban dari kebijakan yang kontradiktif ini. 

Mereka bingung, harus percaya pada janji swasembada atau menghadapi kenyataan pahit bahwa gula impor akan selalu menjadi pesaing utama mereka.

Petani juga seringkali menjadi korban dari spekulan. Ketika harga gula rendah, spekulan membeli gula dengan harga murah dari petani. Kemudian, ketika harga naik, mereka menjual kembali dengan keuntungan besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun