Petani tidak pernah menikmati kenaikan harga. Mereka hanya bisa menikmati kerugian dan kesulitan. Sistem tata niaga gula yang ada terasa tidak berpihak kepada mereka.
Harga yang tidak menentu ini membuat petani tidak bisa merencanakan masa depan. Mereka tidak bisa memprediksi berapa keuntungan yang akan didapat.Â
Hal ini membuat mereka enggan berinvestasi untuk meningkatkan kualitas tebu atau membeli alat-alat modern. Mereka terjebak dalam siklus kesulitan yang tidak berujung.
Keterbatasan Akses Teknologi dan Modal
Selain masalah harga, petani tebu juga menghadapi kendala dalam hal teknologi dan modal. Kebanyakan petani tebu adalah petani kecil dengan lahan yang sempit.Â
Mereka tidak punya modal yang cukup untuk membeli traktor atau alat-alat modern lainnya. Mereka masih mengandalkan cara-cara tradisional yang memakan waktu dan tenaga. Akibatnya, efisiensi kerja rendah dan biaya operasional menjadi tinggi.
Pupuk dan bibit berkualitas juga menjadi masalah. Harga pupuk yang terus naik membuat petani harus berpikir ulang. Mereka seringkali mengurangi dosis pupuk, yang berdampak pada kualitas tebu.Â
Bibit unggul yang bisa menghasilkan tebu dengan kandungan gula tinggi juga sulit didapat. Kalaupun ada, harganya mahal. Petani merasa terperangkap dalam lingkaran setan. Mereka ingin meningkatkan kualitas, tetapi tidak punya modal.
Pabrik gula yang seharusnya menjadi mitra, seringkali tidak memberikan bantuan teknologi yang berarti. Petani seringkali merasa sendirian dalam menghadapi masalah-masalah ini.Â
Mereka berharap ada program pendampingan dari pemerintah atau pabrik gula, tetapi harapan itu seringkali tidak terwujud. Mereka harus berjuang sendiri dengan keterbatasan yang ada.
Keterbatasan modal juga membuat petani kesulitan untuk menahan hasil panen. Mereka harus menjual tebu segera setelah panen, karena mereka membutuhkan uang untuk membayar hutang atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.Â