Akibat rusaknya alat penyulingan itu, warga Pulau Buaya hingga kini masih mengandalkan air tawar dari pesisir dermaga Baolang. Jaraknya sekitar 10 sampai 15 menit menggunakan perahu.Â
Cara mendapatkan airnya unik yaitu warga mengeruk pasir dan kerikil lalu membuat gundukan agar air laut tidak bercampur.Â
Di sana akan ditemukan genangan air yang jernih dan tawar. Warga menampungnya dalam jeriken dan tong besar. Selain itu, mereka juga sangat berharap pada hujan sebagai sumber air.
Keterbatasan listrik dan air bukanlah satu-satunya tantangan. Akses transportasi ke Pulau Buaya juga cukup sulit. Untuk mencapai pulau ini, biasanya harus menggunakan perahu motor dari kota terdekat di Pulau Alor.Â
Cuaca buruk seringkali menjadi penghalang, membuat perjalanan terhambat atau bahkan tidak bisa dilakukan.Â
Ini berdampak pada pasokan kebutuhan sehari-hari dan juga akses warga untuk bepergian ke luar pulau, termasuk untuk berobat atau mencari pekerjaan.
Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, semangat gotong royong dan kebersamaan di Pulau Buaya sangat kuat. Mereka saling membantu dalam berbagai kegiatan, mulai dari membangun rumah, mengurus acara adat, hingga mencari air bersih bersama.Â
Kebersamaan ini menjadi pondasi utama ketahanan hidup mereka. Anak-anak di sana tumbuh dengan belajar menghargai setiap tetes air dan setiap momen listrik menyala. Mereka diajarkan untuk mandiri dan kreatif dalam menghadapi masalah.
Pendidikan, meskipun terbatas, tetap menjadi prioritas bagi warga. Mereka menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anaknya.Â
Para orang tua rela berkorban agar anak-anak mereka bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan harus merantau jauh ke Pulau Jawa.Â
Ini menunjukkan tekad yang luar biasa untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerus.