Pernahkah merasa seperti pintu kesempatan kerja tertutup hanya karena tanggal lahir di KTP atau bentuk wajah di foto? Di dunia yang katanya modern ini, masih banyak dari kita yang menghadapi tembok tak terlihat saat mencari pekerjaan.Â
Tembok itu bernama batasan usia kerja dan kriteria "good looking" atau penampilan menarik. Seolah-olah, pengalaman bertahun-tahun atau otak yang cerdas kalah penting dibanding angka di paspor atau senyuman yang sempurna.Â
Ini adalah kenyataan pahit bagi banyak pencari kerja, dan sudah saatnya kita membahasnya terang-terangan.
Coba bayangkan, seorang profesional dengan jam terbang tinggi, yang sudah makan asam garam di bidangnya. Dia punya segudang pengalaman, jaringan luas, dan tahu betul bagaimana menghadapi berbagai masalah di pekerjaan.Â
Tapi, begitu melamar pekerjaan, dia malah berhadapan dengan kalimat klise di lowongan: "Usia maksimal 30 tahun." Langsung saja semangatnya runtuh. Padahal, kebijaksanaan dan stabilitas yang dia miliki bisa jadi sangat dibutuhkan oleh perusahaan.Â
Namun, hanya karena usia, kemampuannya langsung dikesampingkan. Ini bukan cerita baru, ini adalah realitas yang sering terjadi.
Di sisi lain, ada juga cerita tentang orang-orang yang sangat pintar dan berbakat. Mereka punya ide-ide brilian, kemampuan analisis yang tajam, dan bisa bekerja dengan sangat baik.Â
Tapi, mungkin penampilan mereka tidak masuk dalam kategori "good looking" seperti yang diidamkan beberapa perusahaan.Â
Rambut berantakan, kulit tidak mulus, atau gaya berpakaian yang dianggap kurang modis, bisa jadi alasan mereka tidak lolos seleksi awal. Seakan-akan, kerja itu ajang adu penampilan, bukan adu kemampuan. Padahal, yang dibutuhkan perusahaan itu kinerja, bukan model majalah.
Situasi seperti ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, apa sebenarnya yang dicari perusahaan saat merekrut karyawan? Apakah mereka benar-benar mencari orang yang bisa memberikan kontribusi terbaik, atau sekadar memenuhi daftar kriteria yang tidak relevan dengan pekerjaan itu sendiri?Â
Jika fokusnya hanya pada usia muda dan penampilan menarik, maka banyak talenta hebat yang akan terbuang sia-sia. Ini kerugian besar, bukan hanya bagi individu, tapi juga bagi kemajuan perusahaan dan bahkan ekonomi secara keseluruhan.
Mitos bahwa karyawan muda lebih energik dan cepat belajar, sementara karyawan senior itu kolot dan sulit beradaptasi, sudah saatnya dikubur dalam-dalam. Banyak pekerja senior yang sangat antusias belajar hal baru, bahkan lebih disiplin dan loyal.Â
Mereka punya pengalaman yang tidak bisa diajarkan di bangku kuliah, yaitu pengalaman menghadapi berbagai situasi sulit dan mencari solusi efektif. Pengetahuan yang mereka miliki adalah harta karun yang tak ternilai harganya bagi organisasi.
Begitu pula dengan mitos bahwa penampilan menentukan profesionalisme. Ini adalah pandangan yang dangkal dan tidak adil. Profesionalisme itu terlihat dari cara kerja, etika, dan hasil yang diberikan, bukan dari seberapa rapi tatanan rambut atau seberapa cerah kulit seseorang.Â
Perusahaan yang masih menuntut "good looking" secara berlebihan sebenarnya menunjukkan bahwa mereka kurang fokus pada hal-hal esensial dalam pekerjaan. Ini bisa jadi pertanda buruk bagi budaya kerja mereka sendiri.
Namun, ada kabar baik. Di tengah gelombang perubahan global, cara pandang terhadap rekrutmen mulai bergeser. Banyak perusahaan yang lebih maju dan inovatif mulai menyadari bahwa nilai utama seorang karyawan ada pada kompetensinya, bukan pada usia atau penampilannya.Â
Mereka mulai melihat bahwa keberagaman dalam tim, termasuk keberagaman usia dan latar belakang, justru bisa membawa banyak keuntungan.
Kenapa begitu? Karena tim yang beragam akan punya ide dan sudut pandang yang lebih kaya. Pekerja senior bisa memberikan pengalaman dan stabilitas, sementara pekerja muda bisa membawa energi baru dan pemikiran yang out-of-the-box.Â
Ketika keduanya digabungkan, hasilnya bisa luar biasa. Begitu juga dengan keberagaman penampilan; ketika semua orang merasa dihargai apa adanya, mereka akan lebih nyaman dan bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya tanpa beban.
Pendorong utama perubahan ini adalah perkembangan teknologi dan pasar yang semakin kompetitif. Di era digital ini, yang dibutuhkan adalah orang-orang yang cepat belajar, fleksibel, dan punya kemampuan memecahkan masalah. Keterampilan-keterampilan ini tidak terkait dengan usia.Â
Bahkan, banyak aplikasi dan software baru yang lebih mudah dipelajari oleh mereka yang punya fondasi logika kuat, tidak peduli berapa usianya.
Selain itu, isu demografi juga ikut berperan. Di banyak negara, populasi usia produktif semakin menurun. Ini berarti perusahaan harus mulai melirik potensi dari pekerja yang lebih tua, atau bahkan orang-orang yang baru memulai karier di usia yang tidak lagi muda.Â
Kalau tidak, mereka akan kekurangan tenaga kerja berkualitas. Ini memaksa perusahaan untuk berpikir lebih luas dan meninggalkan batasan-batasan usang.
Gerakan untuk kesetaraan dan inklusi di tempat kerja juga semakin gencar disuarakan. Banyak aktivis, organisasi, dan bahkan pemerintah yang mendorong perusahaan untuk menghilangkan praktik diskriminatif.Â
Mereka ingin agar setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, atau penampilan. Regulasi dan aturan hukum juga mulai diperbarui untuk melindungi hak-hak pekerja dari diskriminasi semacam ini.
Meskipun begitu, mengubah kebiasaan dan pola pikir yang sudah mengakar lama memang tidak mudah. Masih banyak perusahaan dan manajer HR yang terjebak dalam stereotip lama.Â
Dibutuhkan waktu, edukasi, dan contoh-contoh sukses untuk meyakinkan mereka bahwa fokus pada kompetensi adalah kunci utama.
Untuk para pencari kerja yang sering merasa terpinggirkan karena usia atau penampilan, jangan menyerah. Teruslah mengasah diri dan belajar hal-hal baru. Tunjukkan bahwa usia hanyalah angka, dan penampilan tidak menggambarkan kualitas kerja.Â
Ikuti kursus-kursus online, dapatkan sertifikasi baru, atau aktiflah di komunitas profesional. Bangun portofolio yang kuat yang menunjukkan apa yang bisa Anda lakukan, bukan berapa usia Anda atau bagaimana penampilan Anda.
Bagi perusahaan yang ingin maju, saatnya berani keluar dari zona nyaman. Evaluasi kembali proses rekrutmen. Singkirkan kriteria usia dan "good looking" yang tidak relevan dengan esensi pekerjaan.Â
Fokuslah pada apa yang benar-benar penting: pengalaman, keterampilan, potensi, dan kesesuaian dengan nilai-nilai perusahaan. Bentuklah tim yang beragam, karena keberagaman adalah kekuatan.
Divisi Sumber Daya Manusia (HR) punya peran yang sangat penting di sini. Mereka adalah garda terdepan dalam mengubah budaya perusahaan.Â
HR harus jadi agen perubahan yang mengadvokasi rekrutmen berbasis kompetensi, membuat program pelatihan yang inklusif untuk semua usia, dan memastikan tidak ada diskriminasi dalam promosi atau pengembangan karier.
Pemerintah juga harus terus mendukung dengan membuat aturan yang jelas dan tegas. Jangan sampai ada perusahaan yang lolos begitu saja ketika melakukan diskriminasi.Â
Sosialisasi tentang pentingnya kesetaraan kesempatan kerja juga perlu terus digencarkan ke seluruh lapisan masyarakat.
Media massa dan para tokoh publik juga punya peran besar. Mereka bisa membantu mengubah pandangan masyarakat dengan mengangkat kisah-kisah sukses orang-orang yang berhasil meraih karier gemilang tanpa terhalang usia atau penampilan. Ini bisa jadi inspirasi bagi banyak orang untuk tidak patah semangat.
Intinya, kita semua punya tanggung jawab untuk menciptakan dunia kerja yang lebih adil. Sebuah dunia di mana setiap orang dinilai berdasarkan apa yang mereka bisa lakukan, bukan berdasarkan angka di KTP atau bentuk hidung mereka.Â
Ketika kita menghargai potensi setiap individu, tanpa memandang usia atau penampilan, kita sebenarnya sedang membangun perusahaan yang lebih kuat, lebih inovatif, dan lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
Masa depan dunia kerja itu adalah masa depan yang inklusif, di mana kompetensi jadi raja, dan keberagaman jadi kekuatan. Mari kita bersama-sama wujudkan lingkungan kerja yang benar-benar menghargai kontribusi setiap individu.Â
Sudah saatnya kita menyatakan dengan lantang: loker tanpa sekat itu nyata, dan peluang bisa direbut lewat otak, bukan hanya dari angka usia atau tampang. Ini adalah sebuah langkah maju, bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk kemajuan bangsa dan dunia kerja yang lebih manusiawi.
Diskriminasi berdasarkan pembatasan usia kerja dan kriteria "good looking" masih menjadi penghalang signifikan dalam dunia pencarian kerja, mengesampingkan potensi besar dari individu berpengalaman atau mereka yang memiliki kemampuan luar biasa namun tidak sesuai standar penampilan konvensional.Â
Namun, seiring dengan perubahan lanskap digital dan tuntutan pasar yang semakin kompleks, ada pergeseran menuju sistem rekrutmen yang lebih inklusif, di mana kompetensi, pengalaman, dan potensi menjadi penentu utama, bukan lagi angka usia atau rupa.Â
Dengan demikian, "Loker Tanpa Sekat" bukanlah sekadar harapan, melainkan keniscayaan yang mendorong perusahaan untuk fokus pada nilai sebenarnya seorang karyawan dan memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI