Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Lapor Pak Dedi: Ketika Aduan Rakyat Jadi Gerakan Sosial, Membentuk Karakter Bangsa

11 Mei 2025   23:32 Diperbarui: 11 Mei 2025   23:32 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat mengunjungi tempat pembinaan siswa bermasalah di barak militer di Purwakarta. | Dok Dedi Mulyadi via Kompas.com

Setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengambil langkah kontroversial dengan memberlakukan kebijakan pendidikan karakter yang melibatkan pembinaan anak-anak bermasalah di barak militer, sebuah fenomena unik dan menarik muncul di tengah masyarakat. 

Alih-alih hanya menjadi perbincangan sesaat, kebijakan ini justru memicu gelombang respon yang lebih luas, di mana sosok Dedi Mulyadi kemudian diasosiasikan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Fenomena ini bermula dari bagaimana masyarakat, khususnya orang tua, menggunakan sosok Dedi Mulyadi sebagai figur otoritas untuk mendisiplinkan anak-anak mereka. Anak-anak yang dianggap nakal, usil, malas belajar, atau memiliki kebiasaan buruk lainnya, tiba-tiba dihadapkan pada gambar atau video Dedi Mulyadi melalui ponsel atau media sosial. 

Harapannya sederhana yakni kehadiran sosok yang dianggap tegas dan berwibawa ini dapat membuat anak-anak menjadi lebih penurut.

"Lapor Pak Dedi!" menjadi frasa yang umum terdengar di rumah-rumah. Ketika seorang anak menolak makan, orang tua akan mengancam, "Kalau tidak mau makan, lapor Pak Dedi, nanti dibawa ke barak!" Ancaman serupa dilontarkan ketika anak malas berangkat sekolah atau terus-menerus meminta uang jajan. 

Bahkan, anak-anak yang suka melawan atau tidak patuh pada orang tua pun tak luput dari "ancaman" yang sama. Mereka seolah-olah dihadapkan pada konsekuensi langsung dari ketidakpatuhan mereka: intervensi dari Pak Dedi yang berujung pada "dibawa ke barak."

Namun, fenomena ini tidak hanya terbatas pada urusan anak-anak. Hal yang lebih menarik dan bahkan menggelitik adalah ketika orang dewasa pun mulai melibatkan sosok Dedi Mulyadi dalam permasalahan mereka, meskipun konteksnya jauh berbeda dari kebijakan pendidikan karakter.

Muncul aduan-aduan lucu dan tidak terduga di media sosial. Seorang istri, misalnya, dengan nada bercanda namun mungkin juga sedikit frustrasi, melaporkan suaminya yang pemalas. "Pak Dedi, Pak Dedi, ini suami saya malas sekali bekerja, kerjanya hanya tidur terus!" tulisnya, seolah-olah mengharapkan intervensi sang gubernur. 

Tak mau kalah, seorang suami pun menggunakan platform yang sama untuk "melaporkan" kebiasaan istrinya yang gemar berbelanja online tanpa terkendali.

Contoh-contoh ini memperlihatkan bagaimana sosok Dedi Mulyadi telah melampaui perannya sebagai gubernur dan menjadi semacam simbol harapan atau bahkan "jalan keluar" bagi berbagai persoalan masyarakat. 

Meskipun seringkali disampaikan dalam nada humor, fenomena ini mengindikasikan adanya kepercayaan, atau setidaknya harapan, terhadap kemampuan Dedi Mulyadi dalam menyelesaikan masalah, atau setidaknya memberikan efek jera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun