Setiap akhir tahun ajaran, kalender pendidikan diwarnai dengan agenda perpisahan dan wisuda sekolah. Momen ini secara tradisional dipandang sebagai puncak perayaan atas selesainya satu jenjang pendidikan.Â
Bagi para siswa, ini adalah penanda transisi penting, bagi orang tua, sebuah kebanggaan, dan bagi sekolah, simbol keberhasilan dalam mendidik generasi penerus bangsa.Â
Namun, belakangan ini, gaung perayaan tersebut seringkali dibayangi oleh isu pembiayaan yang memberatkan, memicu perdebatan sengit mengenai esensi dan pelaksanaannya.
Fenomena perpisahaen dan wisuda yang cenderung mewah, diselenggarakan di luar lingkungan sekolah dengan biaya fantastis, telah menjadi sorotan publik.Â
Kerap kali, kegiatan ini dipandang sebagai ajang pamer kemewahan ketimbang ungkapan syukur dan apresiasi tulus.Â
Beban finansial yang ditanggung orang tua, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak merata, menimbulkan keresahan dan bahkan penolakan terhadap praktik semacam ini, mempertanyakan kembali tujuan sebenarnya dari acara-acara tersebut.
Pemerintah melalui dinas pendidikan di berbagai daerah mulai merespons keresahan ini dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang atau membatasi kegiatan perpisahan dan wisuda di luar sekolah jika memberatkan.Â
Kebijakan ini bertujuan mulia, yakni untuk mengembalikan fitrah perpisahan dan wisuda sekolah sebagai momen apresiasi dan kenangan, bukan kompetisi pengeluaran.Â
Langkah ini disambut baik oleh sebagian kalangan, namun menimbulkan kebingungan dan kekecewaan di kalangan lainnya yang telah terlanjur menganggap acara mewah sebagai suatu 'keharusan'.
Kebingungan dan potensi kesalahpahaman ini menunjukkan betapa krusialnya peran komunikasi dan sosialisasi kebijakan.Â
Sebuah kebijakan, betapapun baik tujuannya di atas kertas, tidak akan efektif jika tidak tersampaikan dan dipahami dengan baik oleh semua pihak yang berkepentingan, sekolah, guru, siswa, dan terutama orang tua.Â