Di era digital yang serba cepat ini, teknologi kecerdasan buatan (AI) mulai masuk ke ruang-ruang kelas, termasuk dalam pembelajaran sejarah. Banyak guru yang mulai memanfaatkan AI untuk membuat materi, mencari referensi, atau menyusun kuis interaktif. Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, penggunaan AI dalam pembelajaran sejarah Indonesia tidak lepas dari kelemahan yang perlu diwaspadai.
Sejarah bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi juga narasi yang membentuk identitas bangsa. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk tetap bersikap kritis. Berikut lima kelemahan utama AI dalam pembelajaran sejarah Indonesia, beserta cara mengantisipasinya agar teknologi ini menjadi alat bantu, bukan pengganti peran guru.
1. Akurasi Informasi yang Masih Diragukan
Salah satu masalah terbesar dalam penggunaan AI adalah keakuratan informasi. Mesin AI bisa saja menyajikan data yang tampak meyakinkan, tetapi sesungguhnya keliru atau tidak relevan dengan konteks sejarah Indonesia. Kesalahan semacam ini dapat menyesatkan pemahaman siswa dan merusak tujuan pembelajaran.
Antisipasi: Guru harus selalu memverifikasi informasi dari AI dengan sumber-sumber resmi seperti buku teks sejarah nasional, arsip negara, atau jurnal ilmiah. Dengan cara ini, AI bisa menjadi alat bantu awal, bukan satu-satunya sumber informasi.
2. Minimnya Konteks Budaya dan Lokalitas
AI umumnya dilatih menggunakan data global yang bersifat umum, sehingga sering mengabaikan nuansa lokal dalam sejarah Indonesia. Padahal, sejarah bangsa kita kaya akan keberagaman budaya, nilai-nilai kearifan lokal, dan istilah-istilah daerah yang tidak selalu muncul di basis data AI.
Antisipasi: Guru dapat melengkapi materi dari AI dengan sumber lokal, misalnya cerita rakyat, catatan sejarah daerah, atau menghadirkan pelaku sejarah lokal ke kelas. Dengan begitu, siswa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dan kontekstual.
3. Hilangnya Nilai Kritis dan Empati
Materi yang dihasilkan AI biasanya bersifat netral dan datar. Ini membuat siswa hanya menerima informasi secara pasif tanpa diajak berpikir kritis atau merasakan emosi di balik peristiwa sejarah. Padahal, belajar sejarah bukan hanya menghafal, tetapi juga memahami makna kemanusiaan dari setiap peristiwa.