Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berpikir Kritis di Era Hoaks

9 September 2025   09:05 Diperbarui: 9 September 2025   09:05 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era media sosial, kabar bohong bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Hoaks mampu memicu kepanikan, perpecahan, bahkan konflik, hanya karena orang terlalu cepat percaya tanpa berpikir kritis. Di sinilah belajar sejarah menemukan relevansinya.

Sejarah sering dianggap hanya kumpulan tanggal dan nama tokoh. Padahal, jauh lebih penting dari itu, belajar sejarah melatih kita untuk berpikir kritis. Mengapa demikian? Karena sejarah tidak pernah sepenuhnya netral. Setiap catatan masa lalu lahir dari sudut pandang tertentu: pemenang perang, penjajah, pejuang, atau bahkan rakyat kecil. Tugas kita sebagai pembelajar sejarah adalah memilah, membandingkan, dan mencari kebenaran yang lebih utuh dari berbagai sumber.

Kemampuan inilah yang sangat relevan dengan fenomena banyaknya hoaks di era digital. Hoaks, layaknya "sejarah versi sepihak", sering muncul dengan tujuan tertentu: memengaruhi opini, menyebar kebencian, atau sekadar mengejar sensasi. Tanpa berpikir kritis, masyarakat mudah termakan isu, terprovokasi, bahkan terpecah belah.

Belajar sejarah memberi latihan untuk menghadapi situasi semacam ini. Pertama, kita terbiasa menguji sumber: siapa penulisnya, apa latar belakangnya, dan apa motifnya. Kedua, kita belajar membandingkan versi: apakah informasi tersebut konsisten dengan sumber lain yang lebih kredibel. Ketiga, kita dilatih untuk tidak cepat percaya, melainkan menganalisis konteks sebelum mengambil kesimpulan.

Dengan pola pikir semacam ini, kita lebih siap menghadapi derasnya arus informasi. Seperti saat membaca catatan kolonial yang menyebut perang rakyat sebagai "pemberontakan", kita diajak mempertanyakan: benarkah demikian, atau ada perspektif lain yang disembunyikan? Pertanyaan serupa juga berlaku ketika kita menerima berita viral di media sosial: benarkah faktanya seperti itu, atau ada manipulasi di baliknya?

Akhirnya, belajar sejarah bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan membekali diri dengan keterampilan intelektual. Di tengah maraknya hoaks, kemampuan berpikir kritis dari sejarah adalah benteng agar kita tidak mudah tertipu dan tetap bisa melihat kebenaran dengan jernih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun