Saya sudah enam belas tahun menjadi penglaju dari Pondok Gede, Bekasi menuju kawasan Senen, Jakarta Pusat. Mulai dari era mikrolet dan Mayasari yang berjejal hingga akhirnya hadir Transjakarta dengan jalur khususnya yang katanya lebih manusiawi. Selama itu pula, saya merasakan bahwa "kemewahan" paling nyata dalam perjalanan bukanlah AC dingin, bukan bus yang bersih, bahkan bukan juga tiket yang murah, melainkan sesederhana bisa duduk dengan tenang dari titik awal hingga titik tujuan.
Namun, perjalanan panjang sebagai penglaju justru mengajarkan saya bahwa kursi itu tak pernah benar-benar milik saya. Ada "tanggung jawab moral" yang selalu muncul begitu saya melihat penumpang lain yang tampak lebih membutuhkan: ibu hamil, lansia, atau pekerja dengan wajah lelah yang jelas lebih berat bebannya daripada saya. Tanpa diminta, saya berdiri. Memberikan kursi. Menawarkan ruang kenyamanan yang sebenarnya saya juga butuhkan.
Kegelisahan: Antara Kebaikan dan Rasa Tersiksa
Mungkin banyak orang memuji tindakan semacam itu sebagai random act of kindness. Tapi, sejujurnya, ada kalanya saya merasa tersiksa. Bayangkan, setelah berjam-jam berdiri di depan kelas sebagai guru, saya harus melanjutkan dengan berjam-jam berdiri lagi di bus yang terjebak macet. Kaki pegal, punggung kaku, dan tubuh ingin sekali bersandar, tapi hati menolak untuk duduk kembali karena kursi itu sudah "saya hibahkan" kepada orang lain.
Di titik itulah kegelisahan saya muncul. Apakah saya benar-benar sedang berbuat baik, atau sekadar membiarkan diri saya menderita? Apakah kebaikan yang dipaksakan, yang mengorbankan kesehatan diri sendiri, masih bisa disebut kebaikan? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap mengganggu kepala setiap kali rasa nyeri mulai menusuk pinggang.
Belajar dari Tubuh yang Protes
Jawabannya datang bukan dari orang lain, melainkan dari tubuh saya sendiri. Satu kali, sebuah kecelakaan kecil di rumah, sekadar salah mengangkat beban, membuat pinggang saya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Rasa sakit itu mengingatkan betapa rapuhnya saya, betapa tubuh punya batas yang sering saya abaikan demi menjaga etika sosial di transportasi umum.
Di situ saya belajar: kebaikan juga perlu keseimbangan. Kita boleh memberi kursi, tapi juga jangan takut menerima kebaikan yang sama ketika tubuh memang membutuhkannya. Saya pernah begitu keras kepala, menolak duduk meski ada yang menawarkan, hanya karena merasa "lebih muda" atau "lebih kuat." Padahal, kenyataannya, tubuh saya tidak selalu setangguh itu.
Pengalaman itu memberi inspirasi sederhana: bahwa kebaikan bukan hanya tentang siapa yang memberi, tapi juga siapa yang mau menerima. Karena tanpa penerima, kebaikan tidak akan pernah lengkap.
Kursi sebagai Metafora Kehidupan