Lebih buruk lagi, di era media sosial seperti sekarang, satu kebijakan yang dianggap "tidak masuk akal" bisa dengan cepat menjadi meme nasional. Hasilnya? Alih-alih membangun kesadaran untuk menghargai karya musik, LMKN justru memberi amunisi bagi publik untuk menertawakan, bahkan memusuhi, konsep royalti itu sendiri.
Pupuk atau Racun bagi Musik Indonesia?
Royalti seharusnya menjadi pupuk, memberi nutrisi bagi para pencipta agar terus berkarya. Tapi pupuk yang diberikan berlebihan atau di waktu yang salah bisa menjadi racun.
Kalau masyarakat sudah merasa "dipalak" atas hal-hal yang bagi mereka remeh seperti nyanyi di warung kopi atau memutar lagu dari YouTube di acara kecil maka pesan intinya akan hilang. Yang tersisa hanya rasa jengkel.
Dan jengkel adalah musuh utama bagi perkembangan musik. Karena dukungan publik adalah oksigen bagi industri kreatif. Kalau oksigen ini diracuni oleh rasa antipati, maka musisi yang mestinya diuntungkan malah ikut merugi.
Â
Ketika Niat Mulia Butuh Strategi
Di titik ini, saya tidak meragukan niat LMKN. Saya percaya banyak di dalamnya yang benar-benar ingin melindungi hak cipta musisi. Tapi niat baik tanpa strategi komunikasi yang cerdas hanya akan menjadi bahan bakar untuk kemarahan publik.
Lihatlah bagaimana beberapa negara mengedukasi publik soal hak cipta: lewat kampanye kreatif, kerja sama dengan media, dan insentif positif. Di Jepang, misalnya, musisi sering terlibat langsung dalam sosialisasi. Mereka menjelaskan mengapa royalti penting, bukan sekadar memerintah untuk membayar.
LMKN, sayangnya, memilih jalur yang membuat publik merasa diawasi dan "ditarik biaya" tanpa kompromi.
Â