Di negeri ini, ada lembaga yang namanya terdengar begitu mulia: Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tugasnya terdengar indah, mengelola royalti demi kesejahteraan para pencipta lagu dan pemilik hak terkait. Sebuah misi yang, di atas kertas, tak mungkin ada yang menolak.
Tapi di lapangan, misi mulia itu kini terjebak di dalam badai polemik. Dan yang lebih menarik, LMKN tampaknya memilih untuk terus berjalan, melawan arus.
Â
Royalti untuk Semua, Termasuk Suara Burung
Polemik ini mulai ramai saat publik mendengar kabar: bahkan suara burung pun bisa kena royalti. Bukan metafora ini nyata. Bayangkan Anda duduk di kafe, menyeruput kopi, dan ada burung berkicau di latar belakang. Jika kicauan itu berasal dari rekaman lagu atau karya cipta, LMKN menilai, tetap harus bayar.
Di saat sebagian pencipta lagu dengan sadar menggratiskan karyanya demi kebebasan penggunaan, LMKN punya pandangan lain: gratis itu tidak benar-benar gratis. Katanya, meski pencipta berkata "silakan gunakan tanpa bayar", prosedur hukum tetap harus berjalan, dan ada mekanisme royalti yang harus dihormati.
Mungkin niatnya adalah edukasi publik tentang penghargaan pada hak cipta. Tapi sayangnya, pesan itu tersampaikan seperti petugas parkir yang memungut biaya di halaman rumah orang lain.
Melawan Suara Masyarakat
Masalah terbesar dari kebijakan yang terkesan memaksa ini bukan sekadar teknis, tapi psikologis. Di tengah masyarakat yang masih rendah kesadarannya soal hak cipta, mengedepankan logika "bayar dulu, debat belakangan" malah memicu antipati.
Ini ibarat ingin mengajarkan sopan santun dengan cara menampar. Bukannya paham, orang justru sakit hati.
Lebih buruk lagi, di era media sosial seperti sekarang, satu kebijakan yang dianggap "tidak masuk akal" bisa dengan cepat menjadi meme nasional. Hasilnya? Alih-alih membangun kesadaran untuk menghargai karya musik, LMKN justru memberi amunisi bagi publik untuk menertawakan, bahkan memusuhi, konsep royalti itu sendiri.
Pupuk atau Racun bagi Musik Indonesia?
Royalti seharusnya menjadi pupuk, memberi nutrisi bagi para pencipta agar terus berkarya. Tapi pupuk yang diberikan berlebihan atau di waktu yang salah bisa menjadi racun.
Kalau masyarakat sudah merasa "dipalak" atas hal-hal yang bagi mereka remeh seperti nyanyi di warung kopi atau memutar lagu dari YouTube di acara kecil maka pesan intinya akan hilang. Yang tersisa hanya rasa jengkel.
Dan jengkel adalah musuh utama bagi perkembangan musik. Karena dukungan publik adalah oksigen bagi industri kreatif. Kalau oksigen ini diracuni oleh rasa antipati, maka musisi yang mestinya diuntungkan malah ikut merugi.
Â
Ketika Niat Mulia Butuh Strategi
Di titik ini, saya tidak meragukan niat LMKN. Saya percaya banyak di dalamnya yang benar-benar ingin melindungi hak cipta musisi. Tapi niat baik tanpa strategi komunikasi yang cerdas hanya akan menjadi bahan bakar untuk kemarahan publik.
Lihatlah bagaimana beberapa negara mengedukasi publik soal hak cipta: lewat kampanye kreatif, kerja sama dengan media, dan insentif positif. Di Jepang, misalnya, musisi sering terlibat langsung dalam sosialisasi. Mereka menjelaskan mengapa royalti penting, bukan sekadar memerintah untuk membayar.
LMKN, sayangnya, memilih jalur yang membuat publik merasa diawasi dan "ditarik biaya" tanpa kompromi.
Â
Suara Burung yang Lebih Nyaring dari Musiknya
Kembali ke soal suara burung tadi yang semula mungkin hanya anekdot, kini menjadi simbol. Simbol bahwa kebijakan bisa kehilangan makna jika dibungkus dengan komunikasi yang kaku. Publik tidak lagi melihat "perlindungan hak cipta", melainkan "royalti untuk segala hal".
Bagi para pencipta lagu yang menggratiskan karyanya, pesan LMKN justru bisa terasa kontradiktif: seolah kebebasan mereka untuk berbagi karya ikut dipungut pajak.
Hasilnya? Bukan hanya publik yang keberatan, tapi sebagian pencipta sendiri bisa merasa dikerdilkan oleh sistem yang katanya melindungi mereka.
Â
Jangan Sampai Musik Kehilangan Pendengarnya
Musik itu soal rasa. Dan rasa itu rapuh. Sekali publik merasa musik adalah beban, bukan hiburan, maka jarak akan tercipta.
LMKN harusnya menjadi jembatan antara pencipta dan public bukan tembok yang memisahkan. Kalau benar ingin mendidik masyarakat menghargai karya, mulailah dengan membuat masyarakat merasa dihargai terlebih dahulu.
Karena jika terus melawan arus, bukan hanya suara burung yang terdengar nyaring, tapi juga suara publik yang berkata: "Kami tidak lagi peduli." Dan saat itu terjadi, royalti sebesar apa pun tidak akan bisa mengembalikan rasa yang sudah hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI