Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Para Pembenci Yang Tak Pernah Libur

14 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 13 Agustus 2025   22:35 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kupang.tribunnews.com/2025/05/31/hasil-survei-indikator-mayoritas-publik-percaya-ijazah-jokowi-asli?lgn_method=google&google_btn=onetap

Di republik ini, ada sekelompok orang yang kerjanya luar biasa konsisten: membenci Jokowi. Mereka tidak dibayar APBN, tapi jam kerjanya melebihi PNS. Libur nasional? Tetap benci. Lebaran? Tetap benci. Bahkan saat negara sedang gempa politik, mereka tetap punya prioritas: mencari bahan baru untuk menyerang Jokowi. Dan yang  tidak pernah basi adalah isu ijazah palsu.

Mereka ini mungkin tidak sadar, tapi justru sedang memberi Jokowi hadiah politik yang sangat mahal: simpati publik.

Ijazah Palsu: Menu Favorit yang Tak Pernah Dihabiskan

Isu ini ibarat mie instan politik: gampang dihidangkan, tapi gizinya nol besar. Tidak pernah benar-benar terbukti di pengadilan, tapi selalu diulang-ulang seperti mantra. Mereka mungkin berharap publik akan bosan dengan Jokowi, tapi yang terjadi sebaliknya: publik malah bosan dengan tuduhannya.

Dan seperti biasa, setiap kali serangan itu dilontarkan, para pendukung Jokowi langsung merapatkan barisan. Mereka merasa idolanya sedang diperlakukan tidak adil. Perasaan itu mengikat lebih kuat daripada janji kampanye mana pun.

Lucunya, para pembenci ini tidak paham bahwa loyalitas emosional jauh lebih sulit digoyahkan dibanding sekadar perbedaan pilihan politik. Serangan mereka justru membuat Jokowi tampil seperti tokoh yang selalu dikejar-kejar tapi tidak pernah jatuh dan itu seksi sekali di mata simpatisan.

Mereka yang Dizalimi Selalu Menang di Hati Rakyat

Sejarah politik Indonesia sudah berkali-kali membuktikan: tokoh yang dianggap dizalimi biasanya justru menjadi legenda. Sukarno tetap dielu-elukan bahkan ketika dilengserkan. Gus Dur malah makin dihormati setelah dilengserkan dari kursi presiden. Prabowo yang dulu dijauhi, kini duduk pada jabatan yang sejak lama Ia perjuangkan.

Jokowi sedang berada di jalur yang sama. Bedanya, ia belum tumbang dan mungkin tidak akan, setidaknya dalam makna politik. Ia justru sedang menikmati paradoks langka: dibenci di satu sisi, tapi makin dicintai di sisi lain.

 

2029: Jalan Masih Panjang

Kalau ada yang berpikir masa Jokowi sudah habis di 2024, coba pikir ulang. Tahun 2029 bukan jarak yang jauh dalam kalender politik. Narasi "Jokowi yang terus diserang" bisa menjadi modal elektoral untuk siapa pun yang ia dukung dan kita semua tahu siapa kandidat paling potensial itu: Gibran Rakabuming Raka.

Dengan Jokowi terus menjadi pusat serangan, Gibran mendapatkan keuntungan besar. Lawan-lawan politik akan lebih sibuk menembaki sang ayah, sementara sang anak bisa melenggang sambil tersenyum. Dalam catur, ini disebut pengalihan serangan dan Jokowi memainkannya dengan wajah polos, seolah itu semua kebetulan.

 

Efek Martir dan Kejeniusan Tanpa Disengaja

Dalam psikologi, ada yang disebut martyr effect. Seseorang yang terus dihajar tapi tetap berdiri tegak akan dipandang lebih gagah, lebih pantas dibela. Dan di mata pendukungnya, Jokowi adalah simbol ketabahan: sederhana, tidak neko-neko, tapi selalu dijadikan sasaran.

Apakah ini strategi yang direncanakan? Entahlah. Tapi faktanya, musuh-musuhnya bekerja tanpa lelah memastikan efek martir ini tetap segar setiap hari. Bahkan mungkin, kalau Jokowi mau, ia bisa memberi piagam penghargaan kepada kelompok pembencinya:

"Atas dedikasi dan kerja keras tanpa henti dalam memperkuat citra saya di mata pendukung."

 

Berhentilah Membantu Jokowi, Kalau Bisa

Kalau benar ingin melihat Jokowi kehilangan pengaruh, satu-satunya cara adalah berhenti memberinya panggung. Jangan lagi gembar-gembor isu yang tak terbukti. Jangan lagi memberi spotlight gratis. Tapi saya yakin itu tidak akan terjadi.

Karena di politik Indonesia, kebencian jarang punya disiplin. Ia selalu ingin bicara, selalu ingin menyerang dan itu adalah oksigen bagi orang yang mereka benci.

Maka jangan kaget kalau nanti, entah di 2029 atau sesudahnya, Jokowi masih ada di lingkaran kekuasaan, entah sebagai tokoh kunci atau king maker. Dan saat itu tiba, ia bisa dengan tenang menatap lawan-lawannya lalu berkata:

"Terima kasih. Tanpa kalian, saya tidak akan sampai sejauh ini."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun