Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Panjang Pemberdayaan Petani Kopi, Catatan Seorang Blessdy Clementine

11 Mei 2023   08:00 Diperbarui: 11 Mei 2023   07:57 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi ; https://www.instagram.com/blessdy/

Pemberdayaan masyarakat, mendengar kata itu terlontar, saya yakin kedua matanya pasti berbinar. Saya bisa menebak dari respon yang ia sampaikan lewat WhatsApp, Blessdy sangat antusias. Tiga tahun mengenalnya selama menjalani masa SMA, saya pikir cukup mengerti bagaimana responnya ketika ia tertarik pada sesuatu.

Mantan ketua OSIS SMAK 3 ini, di usia yang relatif muda sudah memiliki jam terbang di dunia edukasi dan social enterprise lumayan. Pernah menjadi relawan pengajar di Sumba dan bekerja di lembaga pemberdayaan perempuan.

Cukup panjang obrolan kami, hingga akhirnya Blessdy menceritakan fokusnya saat ini. Selain mengurus perusahaan keluarga, dia juga melakukan pemberdayaan petani kopi. Ada di daerah Lampung tepatnya di Ulubelu Tanggamus dan Lombok di daerah Senaru Rinjani. Produk petani binaannya di wilayah tersebut ia serap untuk coffeeshop yang ia dan rekan-rekannya dirikan.

Terinspirasi dari tempatnya bekerja sebelumnya yang bergerak di bidang social enterprise, ia ingin mendirikan social enterprise-nya sendiri. Itulah yang membuat ia pada akhirnya merambah ke pemberdayaan petani kopi. Meski awalnya Blessdy bukanlah pecinta kopi.

Mengedukasi petani kopi untuk menghasilkan produk yang berkualitas itu ternyata tidak mudah. Karena orientasi sebagian dari petani adalah mendapatkan uang secara cepat.  Sehingga seringkali mereka mengabaikan proses. Sebab untuk menghasilkan kopi yang berkualitas, membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang, meski mereka juga paham akan dihargai lebih tinggi. Banyak petani tidak sabar, mungkin karena desakan kebutuhan. Mereka memilih menjual pada tengkulak, yang menerima seperti apapun kualitas kopinya. Tidak memilih, meski dengan harga rendah. Hal yang terpenting bagi petani adalah perputaran uangnya cepat.

Hasil pengamatan Blessdy, petani kopi binaannya juga seringkali keliru dalam mengelola keuangannya. Membeli hal-hal yang sebenarnya bukan prioritas. Bahkan mengabaikan hal penting, investasi bagi masa depan mereka, yaitu pendidikan anak-anak mereka.

Karena sejak awal, orientasinya bukan keuntungan semata, meski mengalami banyak hambatan, Blessdy tetap pada komitmennya. Ia tetap menampung kopi petani binaannya yang sebenarnya memiliki kualitas  belum sesuai harapan dan menyortirnya. Biasanya, dia hanya memperoleh kurang dari 50% persen kopi berkualitas dari target kopi yang berhasil dihasilkan petani. Jauh dari kalkulasi bisnis. Padahal ia membeli dengan harga kualitas grade 1. Tujuannya agar petani tidak lari ke tangan tengkulak. Sehingga secara perlahan ia bisa mengedukasi petani untuk menghasilkan kopi berkualitas.

Meski Blessdy faham, hal ini akan sangat melelahkan namun ia yakin pada komitmennya. Ketika saya melontarkan bukankah lebih mudah cari kopi berkualitas di pasar untuk coffeeshop-nya, ia setuju tetapi ia memilih jalan seperti sekarang. Karena ia percaya, pada gilirannya nanti hal ini akan memberi dampak. Meski ia juga tahu, banyak coffeeshop-coffeeshop lain yang melakukan hal serupa. Artinya Blessdy tidak sendirian. Seandainya ada sinergi, tentu akan menjadi kekuatan yang lebih berdampak bagi kesejahteraan petani kopi.

Mengurus perusahaan keluarga dan coffeeshop dengan idealisme pemberdayaan tentu bukanlah hal yang mudah. Saya menanyakan bagaimana Blessdy melakukan semua ini. Ia mengatakan bahwa prioritasnya adalah perusahaan keluarga, karena ada banyak kepala yang menggantungkan hidup pada perusahaan tersebut. Ia harus mengelolanya dengan baik. Setiap akhir minggu, ia mengurus coffeeshop, karena di bisnis idealis ini, ia tidak sendirian. Lantas urusan kebun kopi, menjadi agenda tahunan untuk dikunjungi. Merasakan suasana pedesaan dan beranjangsana dengan petani, bisa menjadi sarana ia mengolah rasa batiniahnya, menjadi manusia seutuhnya.

Berbincang dengan Blessdy, meski hanya dengan perangkat elektronik tetaplah menjadi hal yang sangat menarik. Bahkan menurutnya bisa berlangsung berjam-jam. Meski saya yakin, saat membalas pertanyaan-pertanyaan saya, ada banyak pekerjaan yang juga sedang ia selesaikan. Semoga apa yang kamu citakan itu kelak terwujud Blessdy, selamat berkarya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun