Mohon tunggu...
Juan Rudolf
Juan Rudolf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa

Hanya opini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Air Mata yang Dilarang: Maskulinitas kaku dan kekerasan berbesis gender

8 Mei 2025   09:55 Diperbarui: 8 Mei 2025   09:55 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Laki-laki kok menangis?" "Jadi cowok harus kuat dong." "Air mata itu buat perempuan, bukan laki-laki." Kalimat ini terdengar sederhana, bahkan sering kali dilontarkan dengan nada bercanda. Namun di balik lelucon itu tersembunyi realitas sosial yang kompleks---realitas tentang bagaimana maskulinitas dibentuk, dikendalikan, dan dipaksakan sejak usia dini. Realitas yang dalam banyak kasus berujung pada kekerasan berbasis gender yang sulit dibongkar akar-akarnya.
Dalam budaya masyarakat Indonesia yang masih sarat dengan nilai-nilai patriarki, laki-laki sejak kecil dididik untuk menjadi kuat, rasional, tidak emosional, dan senantiasa dominan. Sifat-sifat seperti empati, kelembutan, atau kerentanan justru kerap dianggap bertentangan dengan kodrat laki-laki. Akibatnya, ruang untuk mengekspresikan perasaan menjadi sempit, dan banyak laki-laki tumbuh tanpa kemampuan untuk mengenali, mengelola, apalagi mengungkapkan emosi mereka secara sehat.
Salah satu bentuk represi emosional yang paling jamak ditemui adalah larangan untuk menangis. Menangis dianggap sebagai ekspresi kelemahan, sesuatu yang hanya "boleh" dilakukan oleh perempuan. Laki-laki yang menangis sering kali dianggap tidak cukup "jantan", tidak cukup "kuat", dan karenanya menjadi bahan olok-olok. Padahal, dari sudut pandang psikologis dan sosiologis, penekanan terhadap ekspresi emosional ini berdampak sangat serius, baik bagi individu maupun masyarakat secara luas.
Amarah Sebagai Saluran Tunggal Emosi
Menurut panduan American Psychological Association (APA) tahun 2018, norma maskulinitas tradisional cenderung menekan ekspresi emosi, menyebabkan keterasingan sosial, dan meningkatkan kecenderungan untuk berperilaku agresif. Laki-laki yang sejak kecil tidak diperkenankan menangis atau menunjukkan rasa takut, cemas, bahkan sedih, akhirnya hanya mengenali satu bentuk emosi yang "diterima secara sosial": marah.
Di sinilah letak awal mula kekerasan berbasis gender---ketika amarah menjadi satu-satunya saluran untuk mengekspresikan frustrasi dan luka batin, sementara empati dan dialog dianggap lemah. Maka tidak mengherankan jika berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga kekerasan dalam institusi sosial, memiliki keterkaitan erat dengan krisis maskulinitas ini.
Bukan berarti seluruh pelaku kekerasan adalah laki-laki, atau bahwa semua laki-laki rentan menjadi pelaku. Namun, pola-pola kekerasan yang berulang sering kali berakar dari ketidakmampuan sebagian laki-laki untuk mengelola tekanan emosional dalam sistem sosial yang menuntut mereka untuk terus kuat, rasional, dan tidak menunjukkan sisi rentan.
Laki-Laki sebagai Korban yang Terlupakan
Diskursus tentang kekerasan berbasis gender selama ini memang lebih banyak menyoroti perempuan sebagai korban. Ini tidak salah, mengingat data empiris menunjukkan bahwa perempuan memang secara struktural lebih rentan. Namun, perlu juga diakui bahwa laki-laki pun dapat menjadi korban kekerasan berbasis gender, terutama ketika mereka tidak sesuai dengan norma maskulinitas dominan.
Laki-laki yang lembut, ekspresif, atau tidak tertarik pada peran-peran "tradisional" kerap menjadi sasaran ejekan, diskriminasi, bahkan kekerasan fisik. Namun karena stigma sosial, mereka enggan melapor atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban. Dalam banyak kasus, pengalaman tersebut justru dipendam, menjadi trauma yang tidak terselesaikan.
Laporan United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2022 menyebutkan bahwa hanya sebagian kecil laki-laki korban kekerasan seksual yang berani melapor. Rasa malu, takut dikucilkan, dan anggapan bahwa mereka harus "kuat" menjadi penghalang utama. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum dan sosial kita masih belum cukup inklusif dan suportif terhadap pengalaman kekerasan yang dialami oleh laki-laki.
Kekerasan sebagai Warisan Sosial
Kekerasan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam sistem yang melanggengkan ketimpangan relasi kuasa berdasarkan gender. Ketika laki-laki diposisikan sebagai pemilik dominasi, dan ketika dominasi itu dianggap bagian dari identitas maskulin yang ideal, maka setiap bentuk tantangan atau penolakan terhadap dominasi tersebut kerap ditanggapi dengan kekerasan.
Michael Kaufman, pendiri White Ribbon Campaign, pernah menyatakan bahwa "menekan emosi adalah kekerasan pertama yang dilakukan terhadap laki-laki. Dari situlah kekerasan terhadap orang lain mulai dianggap wajar." Pernyataan ini menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki sering kali berakar dari kekerasan psikologis yang mereka alami sejak dini---yakni kekerasan terhadap sisi manusiawi mereka sendiri.
Merekonstruksi Ulang Maskulinitas
Untuk mengatasi persoalan ini, pendekatan struktural dan kultural perlu berjalan beriringan. Pendidikan emosional harus dimulai sejak dini. Anak laki-laki perlu diajarkan bahwa menangis bukanlah kelemahan, tetapi ekspresi sehat dari emosi. Sekolah dan keluarga bisa menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar tentang empati, komunikasi afektif, dan pengelolaan emosi.
Selain itu, penting untuk menyediakan layanan psikologis dan dukungan sosial yang ramah terhadap laki-laki. Banyak laki-laki yang mengalami tekanan mental namun enggan mencari bantuan karena takut dianggap "tidak laki-laki". Menghapus stigma terhadap kesehatan mental laki-laki merupakan langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berempati.
Tidak kalah penting adalah pelibatan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender. Banyak inisiatif seperti MenEngage Alliance telah menunjukkan bahwa ketika laki-laki dilibatkan sebagai bagian dari solusi, mereka menjadi lebih terbuka untuk mengubah diri dan lingkungan mereka. Kesetaraan gender bukan hanya tentang membebaskan perempuan dari ketimpangan, tetapi juga membebaskan laki-laki dari penjara maskulinitas yang kaku.
Representasi dan Narasi Baru

Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi kolektif tentang maskulinitas. Sudah saatnya kita mulai menghadirkan representasi laki-laki yang menangis, yang lembut, yang merawat, dan yang berdialog. Film, iklan, buku anak, bahkan konten digital perlu memunculkan narasi alternatif yang lebih inklusif dan manusiawi.
Perubahan ini mungkin tidak akan terjadi dalam semalam. Namun percakapan kecil---seperti pertanyaan sederhana "Kenapa laki-laki tidak boleh menangis?"---dapat membuka ruang refleksi dan memicu perubahan yang lebih besar. Dari ruang keluarga, sekolah, komunitas, hingga panggung kebijakan, narasi baru tentang laki-laki perlu dibangun bersama.
Air Mata Bukan Akhir, Tapi Awal
Menangis bukan hanya bentuk ekspresi. Dalam dunia yang terlalu lama membungkam perasaan laki-laki, menangis bisa menjadi tindakan revolusioner. Ketika seorang laki-laki berani menangis, ia sedang menolak narasi lama yang mengekangnya, dan membuka jalan menuju keberanian baru: keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya.
Mitos bahwa laki-laki tidak boleh menangis telah menciptakan generasi yang terbelenggu oleh rasa takut akan kelemahan, yang memaknai kekuatan secara sempit, dan yang sering kali tidak tahu bagaimana mencintai diri sendiri maupun orang lain. Kini, saatnya kita hentikan mitos itu---demi laki-laki, demi perempuan, dan demi masa depan yang lebih sehat secara emosional dan lebih setara secara sosial.
Reference:
1. American Psychological Association (APA). (2018). APA Guidelines for Psychological Practice with Boys and Men.
https://www.apa.org/about/policy/boys-men-practice-guidelines.pdf
Digunakan untuk menjelaskan pengaruh norma maskulinitas tradisional terhadap kesehatan mental laki-laki.
2. UNFPA (United Nations Population Fund). (2022). Men and Boys in Addressing Gender-Based Violence.
https://www.unfpa.org/resources/men-and-boys
Sumber data mengenai rendahnya pelaporan kekerasan seksual oleh laki-laki serta pentingnya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender.
3. Kaufman, Michael & Kimmel, Michael. (2011). The Guy's Guide to Feminism. Seal Press.
Menyediakan kutipan penting: "Menekan emosi adalah kekerasan pertama terhadap laki-laki..." dan wawasan tentang maskulinitas dari perspektif aktivis laki-laki.
4. Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU 2023).
https://komnasperempuan.go.id
Dapat dirujuk untuk data kekerasan berbasis gender di Indonesia secara umum, meskipun tidak disebutkan spesifik dalam artikel tetapi bisa memperkuat konteks.
5. MenEngage Alliance. (2021). Men and Masculinities Programme Report.
https://menengage.org/resources
Referensi yang mendukung pentingnya keterlibatan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun