Mohon tunggu...
Lisa Calista
Lisa Calista Mohon Tunggu... Penulis - Anak kuliahan yang aktif organisasi dan suka kepoin hal baru :)

Learning is endless, and experience is the best teacher.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bisnis Mandet: Kebanyakan Promosi, Lupa Quality

30 Maret 2021   22:38 Diperbarui: 30 Maret 2021   23:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Di era Digital Nomads seperti sekarang, kita sudah tidak asing lagi dengan jasa influencers yang semakin menjadi trend pekerjaan. Bonus nya lagi, pelaku influencers itu tidak dibatasi umur, mulai dari balita sampai kakek-nenek juga semua bisa. 

Tak sadar, ilmu ini berubah menjadi ilmu PR (Public Relations) informal yang jitu. Apalagi di Indonesia yang tingkat konsumsi nya tinggi, no wonder kalau setiap bulan program Shopee tanggal double, seperti "Shopee 11.11, Shopee 12.12", ataupun Tokopedia Flash Sale itu efektif. 

Pada umumnya, memang anak muda dan emak-emak yang ingin glow up, atau exist, yang dikenal sebagai orang-orang shopaholic. Akan tetapi, jangan salah, sekarang shopping addiction pun mulai meranah ke kalangan bapak-bapak lho..

Oke, oke.. Sekarang mari saya bahas tentang hubungan promosi sama quality. Kalau kita telusuri, sepanjang pandemi, jumlah bisnis rumahan yang melakukan digitalisasi meningkat pesat. 

Hasilnya, banyak yang promosi produknya, entah itu makanan, fashion, atau produk lainnya, dengan foto-foto bagus, desain postingan yang keren, dan packaging yang cakep. Sekilas, insting saya tentang toko tersebut langsung muncul: seller nya yaitu anak muda.

1. Cerita pertama

Karena kagum dan penasaran dengan foto-foto produknya, meskipun harganya agak mahal, saya pun memasukkan ke keranjang. Klik, klik, klik.. "Transfer ke XXX berhasil". Dua hari berlalu. Ting-tong.. paket sampai. Buru-buru saya buka pintu untuk melihat sesuatu di keranjang dengan kertas bertuliskan: "Drop barang di sini". Jret, jret, jret.. buka, "Wiihh kotaknya lucuu!" Cuci tangan, kunyah secuil. "Yah, rasanya b aja."

Sayangnya, kualitas suatu produk sering tidak mencapai ekspektasi. Bukan hanya wujudnya yang tidak identik, tetapi rasanya juga berantakan. Ada yang agak gosong, ada yang kayak kurang matang, dan sebagainya. Intinya, kualitasnya tidak konsisten. Kalau seperti ini, bagaimana bisa saya mau repeat order? Terlebih lagi, memesan untuk dikirimkan ke teman yang berulang tahun? Rasanya malu deh..

2. Cerita kedua

"Wuih, mantap nih! Harganya oke, gratis ongkir pula!" Review? "Kecee bangettt, bosqu." "Ashiapp bagusss " Check Respon toko? "96%, aktif 20 menit yang lalu." Check Reputasi toko? 3 gold, dicap Star.. Oke, cap cuss!

"Tin!" suara klakson motor abang ojol dari luar berbunyi. Keluar pintu, ambil paket.

"Wohoo, unboxing time~"

"Buset, ini plastiknya banyak amett.."

"Hahh, bahannya segini tipis?"

Buka HP, scroll "transaksi pembelian", lihat produk.

"Payah, ini mah ga lulus buat dapet review segitu banyak!"

Terkadang saya bingung sendiri dengan barang yang kualitasnya rendah, harganya juga tergolong rata-rata, tetapi pembelinya bisa dibanjiri dengan review-review yang luar biasa meyakinkan. Sebenarnya ini faktor bias karena diminta seller untuk memberikan review bagus beserta rating 5 bintang, atau bagaimana ya?

Selain itu, sering saya jumpai produk-produk yang menggunakan influencer dengan video yang bikin nagih, tetapi menurut saya kualitas produknya ketika dibeli tidak wow. Jelas, ini sangat bias karena influencer dibayar jasanya, plus mendapatkan produknya gratis. Ya.. tidak mungkin kalau ia mau menjatuhi si seller yang sudah memberi berkah untuk dia. Akibatnya, para pembeli disetir oleh influencer-influencer yang justru menyesatkan, ibaratnya kalau saat travelling itu dikenal sebagai 'tourist trap'.

Sebaliknya influencer yang kredibel adalah netizen awam yang membuat content gratisan dengan maksud "just for fun", yang jadinya lebih semacam mouth-to-mouth branding. Lebih meyakinkan, karena jauh dari motif-motif matre dan over-rating.

Pada akhirnya, arus bisnis akan kian bertumbuh seperti itu, sehingga harus kita sendiri yang peka dengan menilai apakah kita pantas untuk membeli dari toko tersebut. Bisnis yang terus melaju dengan cara tersebut bakalan hanya hidup sementara, karena dalam jangka waktu panjang, apa yang kita butuhkan adalah kualitas ISINYA, BUKAN kualitas KULITNYA. Dan sebagai pembeli, balik lagi kita ke istilah "Don't judge a book by its cover." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun