Mohon tunggu...
Joshua Jeremy
Joshua Jeremy Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Katolik Widya Mandala

Saya memiliki hobi untuk menulis dan berkreasi dengan indah.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ketika Sistem Pengendalian Berujung Kepada Skandal Akuntansi

23 Juli 2025   14:48 Diperbarui: 4 Agustus 2025   18:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Penulis oleh Joshua Jeremy Wibowo

Nrp: 8312424002

Skandal akuntansi terbesar di Eropa dalam beberapa dekade terakhir terjadi pada Wirecard AG, sebuah perusahaan teknologi finansial asal Jerman. Perusahaan ini, yang sebelumnya dianggap sebagai pencetus dalam dunia digital banking, resmi dinyatakan gulung tikar pada tahun 2020 setelah diketahui adanya pemalsuan laporan keuangan sebesar  €1,9 M. Kejadian tragis ini merusak wajah dari sektor keuangan Eropa, terlebih lagi karena hal ini terjadi di tengah pandemi COVID-19, ketika dunia sedang dilanda ketidakpastian dan membutuhkan stabilitas dari lembaga keuangan. Sehingga muncul, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan dalam kasus ini adalah bagaimana bisa pengawasan internal dan audit eksternal bisa gagal secara total? Bagaimana mungkin kebohongan sebesar itu tidak ketahuan selama berpuluh tahun? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diuji lebih dalam melalui pendekatan akuntansi keperilakuan, khususnya melalui sudut pandang teori kontingensi.

Salah satu pendekatan sistem pengendalian manajemen, teori kontingensi, menyatakan bahwa tidak ada sistem pengendalian manajemen yang bisa cocok untuk semua situasi. Sistem dan struktur organisasi harus dirancang dengan mempertimbangkan konteks dan disesuaikan dengan elemen internal dan eksternal organisasi. Maka, saya pikir teori ini sangat relevan untuk kasus Wirecard.  Sistem pengendalian yang digunakan adalah terpusat, tertutup, dan tidak fleksibel terhadap perubahan global karena raksasa Eropa ini beroperasi secara lintas negara dengan kompleksitas yang tinggi.  Bisnis ini terlalu bergantung pada kantor pusat di Jerman untuk menggabungkan laporan keuangan anak perusahaannya di luar negeri, termasuk di Asia Tenggara. Sayangnya, kantor pusat ini tidak memiliki sistem kontrol yang memadai untuk mengawasi operasi di luar negeri. Sehingga operasional anak perusahaan berjalan bebas tanpa adanya pengawasan yang ketat, dan laporan yang disampaikan tidak diperiksa secara kritis oleh kantor pusat, sehingga timbul kesempatan yang besar jika laporan keuangan tersebut dapat dimanipulasi dan diubah.

Dalam kasus ini audit internal, yang seharusnya memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan pencegahan dan bertindak sebagai garis pertahanan pertama, justru menjadi lembaga yang lemah. Sementara itu, audit eksternal yang dilakukan oleh salah satu dari empat kantor akuntansi utama, Ernst & Young, selama bertahun-tahun juga tidak menemukan dana palsu di rekening escrow luar negeri. Lebih parahnya, ketika whistleblower internal melaporkan kejanggalan, informasi tersebut tidak dianggap serius dan bahkan dianggap mengganggu reputasi perusahaan. Ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan ini tidak sehat dan tidak mendukung transparansi dan akuntabilitas.

Studi Chenhall (2003) menyatakan bahwa strategi dan teknologi sistem pengendalian manajemen harus disesuaikan dengan tingkat ketidakpastian lingkungan bisnis.. Dalam kondisi bisnis global yang kompleks dan tidak pasti seperti yang dijalani Wirecard, perusahaan seharusnya menerapkan sistem pengendalian yang fleksibel, tersebar, dan berbasis data langsung. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Wirecard menerapkan sistem yang tertutup, dengan kekuasaan terpusat dengan minim akuntabilitas. Sistem informasi akuntansi yang dimiliki tidak digunakan untuk mendeteksi anomali, melainkan justru menjadi alat untuk memperkuat ilusi keberhasilan. Selain itu, perlu ditekankan bahwa akuntansi bukan hanya masalah perhitungan angka, data ini berasal dari proses sosial yang melibatkan manusia, dengan segala kepentingan dan bias mereka.. Dalam kasus Wirecard, perilaku dan sistem adalah penyebab kegagalan. Dengan mengabaikan semua risiko dan menekan bawahan untuk mencapai hasil yang luar biasa bagi investor, manajemen puncak menunjukkan keyakinan yang berlebihan. Auditor eksternal pun juga menghadapi konflik kepentingan, mengingat hubungan jangka panjang yang menyamarkan objektivitas mereka.

Dari perspektif akuntansi keperilakuan, ini menjadi pelajaran penting bahwa budaya organisasi yang (old school/ kuno) tidak terbuka terhadap kritik, struktur kekuasaan yang terlalu terpusat, dan sistem pengendalian yang tidak sesuai dengan kondisi nyata justru menciptakan lingkungan yang subur bagi terjadinya manipulasi. Dalam situasi seperti ini, bahkan standar audit terbaik pun bisa gagal apabila tidak didukung oleh integritas, transparansi, dan sistem pengawasan yang tanggap terhadap dinamika global. Skandal akuntansi terbesar ini bukan hanya menjadi tragedi yang tragis bagi dunia keuangan, tetapi juga menjadi pengingat keras bahwa sistem pengendalian manajemen harus selalu kontekstual, adaptif dan fleksibel. Para pengambil keputusan baik regulator, auditor, investor, maupun manajemen harus mulai memandang akuntansi bukan hanya sebagai proses teknis, tetapi juga sebagai refleksi dari perilaku dan budaya organisasi. Tanpa adanya pemahaman ini, skandal serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang.

Daftar Referensi

Chenhall, R. H. (2003). Management control systems design within its organizational context: Findings from contingency-based research. Accounting, Organizations and Society, 28(2–3), 127–168. https://doi.org/10.1016/S0361-3682(01)00027-7

Financial Times. (2019–2020). Investigative series on Wirecard. Retrieved from https://www.ft.com/wirecard

The Economist. (2020, July). The fall of Wirecard. Retrieved from https://www.economist.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun