Mohon tunggu...
Joseph Bagaskara
Joseph Bagaskara Mohon Tunggu... Creative Professional

Penulis dan pekerja kreatif di industri musik, lulusan D3 Bahasa Inggris Universitas Airlangga dan saat ini menempuh studi S1 Manajemen di Universitas Hayam Wuruk. Berpengalaman sebagai Music composer sekaligus pengamat tren, saya aktif mengeksplorasi isu psikologi, budaya populer, dan fenomena sosial modern. Saya percaya bahwa tulisan yang kritis, otentik, dan insightful dapat membuka perspektif baru bagi pembaca, saya selalu tertarik membedah makna di balik musik, gaya hidup, dan dinamika masyarakat urban Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sehari Sebelum Merdeka, Belajar Makna "Terbuang Dalam Waktu"

22 Agustus 2025   14:11 Diperbarui: 22 Agustus 2025   14:11 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Illustrasi : ChatGPT

Tanggal 16 Agustus 2025 bukan sekadar catatan kalender. Bagi banyak orang, itu adalah sehari sebelum bangsa ini merayakan kemerdekaannya. Tapi bagiku, tanggal itu adalah hari ketika aku kehilangan orang yang paling penting dalam hidupku: Mama.Awalnya semua terasa biasa saja. Aku bangun pagi, bersiap ke kantor, dan merencanakan sesuatu yang sederhana setelah jam kerja-berenang bersama teman kuliah. Tidak ada firasat buruk, tidak ada bayangan kehilangan. Semua tampak normal… sampai sebuah pesan WhatsApp masuk.

Pesan Pagi Itu

Pesan itu dari Mama. Ia bilang sedang berada di rumah sakit. Katanya semalam merasa sakit di dada, lalu memutuskan berangkat sendiri naik ojek ke IGD. Aku terdiam, antara khawatir dan heran—bagaimana mungkin Mama yang sudah lama sakit berangkat sendirian?

Tak lama, ia mengirim foto. Senyumnya masih ada, meski wajahnya pucat dengan infus terpasang di tangan. “Wanita bionic ini tumbang lagi,” tulisnya.

Aku membaca pesan itu dengan campuran cemas dan lega. Cemas karena ia sampai harus masuk rumah sakit. Lega karena ia masih sempat bercanda. Aku tidak tahu kalau itu akan menjadi salah satu pesan terakhir darinya.

Telepon yang Mengubah Segalanya

Sekitar pukul 11 siang, ponselku berdering. Nama Mama muncul di layar. Aku langsung mengangkat, tapi bukan suaranya yang terdengar. Seorang dokter muncul lewat video call. Dengan wajah serius, ia menyampaikan kabar yang membuat tubuhku gemetar.

Kondisi Mama kritis. Nadinya lemah, paru-parunya dipenuhi cairan, jantungnya membesar. Dokter berkata kemungkinan besar Mama tidak bisa ditolong. Ia meminta ada keluarga yang segera datang mendampingi.

Aku berdiri di kantor, kaku. Dunia seakan berhenti. Aku tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus melakukan apa. Manager memelukku, teman-teman mencoba menenangkan, tapi tubuhku masih bergetar. Aku menelpon kakakku yang ada di Jakarta, dan ia segera mencari cara agar aku bisa ditemani menuju RSUD Lawang.

Sesampainya di sana, sudah terlambat. Mama terbujur kaku. Diam. Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi suara cerewetnya, tidak ada lagi notifikasi chat darinya. Aku hanya bisa menatap, mencoba menahan tangis, sementara di dalam hati aku hancur.

Lagu yang Menjadi Nyata

Beberapa hari sebelum kejadian, aku menonton film Sore: Istri dari Masa Depan. Ada satu soundtrack dari Barasuara yang berjudul “Terbuang Dalam Waktu.” Entah kenapa, saat pertama kali mendengar lagu itu, aku menangis. Padahal waktu itu aku tidak mengerti benar alasannya.

Kini, setelah Mama pergi, lagu itu terasa seperti nubuat. Seakan Barasuara sudah menuliskan isi hatiku sebelum aku sendiri mengalaminya.

“Tangis yang terbendung, terbuang dalam waktu yang meluruh.”

Kalimat itu menusukku. Betapa banyak tangis yang kutahan selama ini, betapa banyak kata yang tidak pernah kusampaikan, betapa banyak chat Mama yang tidak kujawab. Semua kini terasa terbuang dalam waktu.

Lagu itu bukan lagi sekadar musik. Ia berubah menjadi cermin. Setiap baitnya mengingatkanku pada kehilangan, penyesalan, dan cinta yang sudah tidak bisa lagi kutunjukkan secara langsung.

Cinta yang Tersisa

Di tengah runtuhnya dunia, aku juga menyaksikan betapa luasnya cinta yang Mama tinggalkan. Tanpa diminta, tetangga sudah menyiapkan terop dan kursi. Pendeta datang untuk memimpin ibadah. Teman-teman Mama berdatangan, membawakan doa dan kenangan.

Aku melihat sendiri betapa Mama dicintai orang banyak. Ia memang selalu begitu: ramah, murah hati, suka memberi jajan untuk anak-anak kecil, suka menyapa orang asing dengan hangat. Mungkin aku dulu menganggap kebiasaannya itu sepele, atau bahkan agak aneh. Tapi kini aku sadar, itulah yang membuat Mama dikenang.

Kebaikan yang ia tanamkan, kini kembali sebagai dukungan untuk keluarga kami yang berduka.

17 Agustus yang Berbeda

Esok harinya, Indonesia merayakan kemerdekaan. Jalanan ramai dengan bendera, upacara, dan lomba. Tapi bagiku, 17 Agustus tahun ini terasa lain.

Di saat orang merayakan kebebasan, aku justru belajar arti kemerdekaan yang berbeda: kemerdekaan Mama dari sakit yang selama ini mengekang tubuhnya.

Bendera merah putih tetap berkibar, tapi di hatiku ada satu jiwa yang juga merdeka, -Mama, yang akhirnya bebas dari rasa sakit, dari lelah, dari semua beban.

Belajar Ikhlas

Seorang teman pernah berkata padaku:

“Ilmu paling sulit adalah ikhlas. Dalam cinta, ikhlas adalah puncak tertinggi.”

Kalimat itu terus terngiang. Jujur, aku belum sepenuhnya bisa ikhlas. Masih ada sesal karena aku terlalu cuek, jarang membalas chat Mama, jarang menanyakan kabarnya. Masih ada rasa bersalah karena merasa belum melakukan cukup banyak.

Tapi aku tahu, jalan ke depan hanya bisa ditempuh dengan belajar ikhlas. Kehilangan tidak pernah mudah, tapi cinta yang tersisa harus tetap kujaga.

Menutup Catatan

Kini, setiap kali aku membuka WhatsApp, aku sadar tidak akan ada lagi chat dari Mama. Tidak ada lagi foto editan FaceApp yang dulu sempat membuatku menggelengkan kepala. Tidak ada lagi kalimat cerewet yang dulu sering kuabaikan.

Yang ada hanyalah kenangan. Tapi justru di situlah Mama tetap hidup dalam setiap senyumnya yang kuingat, dalam setiap kebaikan yang pernah ia lakukan, dalam setiap doa yang dulu ia panjatkan untuk anak-anaknya.

Mama, selamat jalan.
Semoga damai di rumah abadi.
Aku akan melanjutkan hidup dengan membawa semua kebaikan yang pernah kau tanam.

Dan setiap kali lagu Barasuara “Terbuang Dalam Waktu” diputar, aku akan mengingatmu. Bukan dengan air mata semata, tapi dengan cinta yang abadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun