Kini, setelah Mama pergi, lagu itu terasa seperti nubuat. Seakan Barasuara sudah menuliskan isi hatiku sebelum aku sendiri mengalaminya.
“Tangis yang terbendung, terbuang dalam waktu yang meluruh.”
Kalimat itu menusukku. Betapa banyak tangis yang kutahan selama ini, betapa banyak kata yang tidak pernah kusampaikan, betapa banyak chat Mama yang tidak kujawab. Semua kini terasa terbuang dalam waktu.
Lagu itu bukan lagi sekadar musik. Ia berubah menjadi cermin. Setiap baitnya mengingatkanku pada kehilangan, penyesalan, dan cinta yang sudah tidak bisa lagi kutunjukkan secara langsung.
Cinta yang Tersisa
Di tengah runtuhnya dunia, aku juga menyaksikan betapa luasnya cinta yang Mama tinggalkan. Tanpa diminta, tetangga sudah menyiapkan terop dan kursi. Pendeta datang untuk memimpin ibadah. Teman-teman Mama berdatangan, membawakan doa dan kenangan.
Aku melihat sendiri betapa Mama dicintai orang banyak. Ia memang selalu begitu: ramah, murah hati, suka memberi jajan untuk anak-anak kecil, suka menyapa orang asing dengan hangat. Mungkin aku dulu menganggap kebiasaannya itu sepele, atau bahkan agak aneh. Tapi kini aku sadar, itulah yang membuat Mama dikenang.
Kebaikan yang ia tanamkan, kini kembali sebagai dukungan untuk keluarga kami yang berduka.
17 Agustus yang Berbeda
Esok harinya, Indonesia merayakan kemerdekaan. Jalanan ramai dengan bendera, upacara, dan lomba. Tapi bagiku, 17 Agustus tahun ini terasa lain.
Di saat orang merayakan kebebasan, aku justru belajar arti kemerdekaan yang berbeda: kemerdekaan Mama dari sakit yang selama ini mengekang tubuhnya.