Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membangun "Trust" dalam Kehidupan Pernikahan

5 Juli 2020   00:08 Diperbarui: 5 Juli 2020   00:47 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan pernikahan antara suami dan istri, hal yang tidak boleh diabaikan adalah soal membangun "trust". Secara sederhana "trust" berarti sikap saling percaya antara suami dan istri.

Seorang pria yang menaruh "trust" meyakini bahwa sang istri adalah seorang yang sabar dan memiliki cinta kasih yang besar. Seorang wanita yang menaruh "trust" meyakini bersama suaminya ia akan memiliki masa depan yang baik dan indah.

Seorang suami yang dapat dipercaya, setiap perkataan dan janjinya akan dipegang teguh oleh sang istri. Sedangkan istri yang dapat dipercaya, akan memelihara cinta dan kesetiaanya hanya pada sang suami.

Tanpa ada "trust" di antara suami dan istri, maka akan selalu muncul rasa curiga dan dapat menjadi sumber percecokan yang tak berujung. Tanpa ada "trust" antara suami dan istri, maka tinggal menunggu waktu, kehidupan pernikahan akan berakhir pada perceraian.

Namun membangun "trust" antara suami dan istri tidaklah semudah mengatakannya. Ada banyak faktor ternyata yang mempengaruhi seseorang sulit untuk "trust" dan bahkan sulit untuk dipercaya.

Kesalahan pada diri pasangan yang pernah terjadi di masa lalu, dapat menjadi faktor sulitnya kembali menaruh "trust" di kemudian hari.

Seorang suami yang pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu, akan membuat istri membangun citra suami yang tidak bisa lagi dipercaya. Jika kesalahan di masa lalu itu benar-benar tidak tuntas diselesaikan, maka akan ada luka-luka batin yang terus membekas dan sulit dilupakan.

Meskipun suami sudah benar-benar mengakui kesalahannya dan berjanji akan memperbaiki diri, namun harus ada peran aktif siswa untuk membangun kembali "trust" yang sempat rusak.

Dalam hal ini, istri harus menyelesaikan luka batin yang dialaminya. Seorang istri harus memahami bahwa "tidak ada gading yang tak retak" dan dengan rendah hati memulai kembali dari "nol" agar "trust" dapat kembali tumbuh.

Kesalahan-kesalahan yang dialami pada masa kecil juga dapat berperan sulitnya seseorang menaruh "trust" pada pasangannya.

Ternyata masalah "trust" sangat dipengaruhi sejak seseorang masih kecil. Menurut teori psikologi, umur 0-1 tahun disebut sebagai fase basic trust vs mistrust. Jika fase ini berhasil dilewati, maka akan muncul basic trust sebagai dasar untuk percaya pada orang lain. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah mistrust, maka si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain.

Bagaimana seorang anak bisa memiliki basic trust? Dalam hal ini, sangat penting peran orang tua yang membesarkan si anak.

Saat seorang bayi menangis, ia sedang mengatakan "aku butuh pertolongan". Basic trust atau mistrust akan terbentuk, tergantung apakah orang tua cepat menolong sang bayi.

Kalau pun kemudian ditolong tetapi harus menunggu lama atau dipegang kasar, niscaya terbentuk mistrust, rasa tidak percaya pada orang terdekat. Kelak, anak yang demikian akan selalu merasa dunia ini jahat.

Di zaman serba sibuk seperti sekarang ini, banyak orang tua yang mempercayakan pengasuhan pada babysiter. Parahnya, babysiter sering sekali gonta ganti karena berbagai faktor. Padahal seorang anak butuh waktu untuk lengket dan beradaptasi dengan pengasuhnya.

Seorang anak dengan pola asuh demikian tidak akan memiliki basic trust dan akhirnya sulit bertumbuh dalam "trust" kepada orang lain. Dan ketika dewasa, ia harus belajar merancang ulang "trust" dalam dirinya, terkhusus mempelajari dan mengembangkan "trust" bersama pasangan.

Itulah alasan, mengapa konseling pra nikah sangat dianjurkan. Dalam konseling pra nikah, konselor akan membantu konseli menemukan akar-akar yang dapat menjadi faktor sulitnya membangun "trust" antara suami dan istri. Keduanya harus bersedia jujur agar dapat dibantu menyelesaikan persoalan "trust" yang ada di masa lalu.

Lalu, apa saja "trust" yang perlu dibangun dalam kehidupan suami dan istri?

Setidaknya, saya melihat ada 4 area "trust" yang harus terbangun antara suami dan istri dalam kehidupan pernikahan.

Pertama, "trust" dalam hal seksual. Ini akan menjadi masalah besar jika suami atau istri tidak menaruh "trust" dalam hal ini pada pasangannya.

Seorang suami harus belajar "trust" bahwa sang istri hanya melakukan hubungan seksual pada pasangannya, meskipun keduanya sedang dalam Long Distance Relationship. Demikian sebaliknya, seorang istri harus "trust" bahwa, suaminya tidak punya wanita lain dalam hidupnya.

Seorang suami juga harus belajar menjadi orang yang dapat dipercayai dalam hal seksualitas. Ia harus dapat menunjukkan diri sebagai seorang suami yang patut dipercayai dengan menunjukkan sikap-sikap yang patut dipercayai dan meyakinkan bagi sang istri. Demikian juga sebaliknya.

Kedua, "trust" bahwa pasangan mencintai dan mengasihi dengan tulus tanpa niat-niat tersembunyi.

Seorang istri harus belajar "trust" bahwa sang suami mencintai dan mengasihinya tanpa syarat. Meskipun kelak istri tidak lagi secantik saat masih muda, ia tetap percaya bahwa suaminya akan tetap mencintai dan mengasihinya dengan tulus.

Seorang suami harus belajar "trust" bahwa sang istri akan terus setia sampai mati. Meskipun kelak ia menjadi tua dan sakit-sakitan, sang suami percaya bahwa istrinya akan tetap setia mendampingi dan merawatnya dengan baik.

Ketiga, "trust" bahwa dalam keadaan marah sekalipun, pasangan tidak akan meninggalkan.

Saat terjadi cek cok besar, seoarang istri percaya bahwa sang suami tidak akan membuang dan meninggalkannya.

Suami dan  istri perlu belajar bagaimana mengelola konflik yang ada sehingga konflik justru membuat keduanya saling memahami satu dengan yang lain, bukan sebaliknya. Jika sedang "marahan" salah satu harus segera berinisiatif meminta maaf dan menyelesaikan masalah yang ada.

Permasalahan yang tak terselesaikan akan menimbulkan kekacauan di kemudian hari. Sehingga perlu "trust" bahwa dalam kondisi marah besar sekalipun, pasangan akan tetap bersedia memaafkan dan membuka ruang untuk kembali bersama.

Keempat, "trust" bahwa pasangan akan selalu mengutamakan kebahagiaan keluarga.

Seorang istri harus "trust" bahwa pasangannya akan melakukan yang terbaik demi kebahagiaan keluarga. Saat bekerja, suami yang dapat dipercaya akan bekerja dengan sebaik-baiknya membangun karir demi kebahagiaan keluarga di masa mendatang.

Saat sudah ada anak di tengah keluarga, seorang istri yang dapat dipercaya akan melakukan yang terbaik dalam merawat anak di rumah. Meskipun dengan demikian ia harus merelakan karirnya di luar dan memilih menjadi seorang ibu rumah tangga yang merawat anak di rumah.

Sangat indah jika tumbuh "trust" mengutamakan kebahagiaan dan keutuhan keluarga di antara suami dan istri. Keduanya akan merasa aman dan tenang saat berdekatan ataupun saat sedang tidak berdekatan. Karena masing-masing tahu, bahwa pasangannya akan tetap memikirkan kebahagiaan keluarga sebagai tujuan utama dalam kehidupan suami dan istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun