Ternyata masalah "trust" sangat dipengaruhi sejak seseorang masih kecil. Menurut teori psikologi, umur 0-1 tahun disebut sebagai fase basic trust vs mistrust. Jika fase ini berhasil dilewati, maka akan muncul basic trust sebagai dasar untuk percaya pada orang lain. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah mistrust, maka si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain.
Bagaimana seorang anak bisa memiliki basic trust? Dalam hal ini, sangat penting peran orang tua yang membesarkan si anak.
Saat seorang bayi menangis, ia sedang mengatakan "aku butuh pertolongan". Basic trust atau mistrust akan terbentuk, tergantung apakah orang tua cepat menolong sang bayi.
Kalau pun kemudian ditolong tetapi harus menunggu lama atau dipegang kasar, niscaya terbentuk mistrust, rasa tidak percaya pada orang terdekat. Kelak, anak yang demikian akan selalu merasa dunia ini jahat.
Di zaman serba sibuk seperti sekarang ini, banyak orang tua yang mempercayakan pengasuhan pada babysiter. Parahnya, babysiter sering sekali gonta ganti karena berbagai faktor. Padahal seorang anak butuh waktu untuk lengket dan beradaptasi dengan pengasuhnya.
Seorang anak dengan pola asuh demikian tidak akan memiliki basic trust dan akhirnya sulit bertumbuh dalam "trust" kepada orang lain. Dan ketika dewasa, ia harus belajar merancang ulang "trust" dalam dirinya, terkhusus mempelajari dan mengembangkan "trust" bersama pasangan.
Itulah alasan, mengapa konseling pra nikah sangat dianjurkan. Dalam konseling pra nikah, konselor akan membantu konseli menemukan akar-akar yang dapat menjadi faktor sulitnya membangun "trust" antara suami dan istri. Keduanya harus bersedia jujur agar dapat dibantu menyelesaikan persoalan "trust" yang ada di masa lalu.
Lalu, apa saja "trust" yang perlu dibangun dalam kehidupan suami dan istri?
Setidaknya, saya melihat ada 4 area "trust" yang harus terbangun antara suami dan istri dalam kehidupan pernikahan.
Pertama, "trust" dalam hal seksual. Ini akan menjadi masalah besar jika suami atau istri tidak menaruh "trust" dalam hal ini pada pasangannya.
Seorang suami harus belajar "trust" bahwa sang istri hanya melakukan hubungan seksual pada pasangannya, meskipun keduanya sedang dalam Long Distance Relationship. Demikian sebaliknya, seorang istri harus "trust" bahwa, suaminya tidak punya wanita lain dalam hidupnya.