"Kasihan, Niah. Wira-wiri, ke sana kemari, tinggal di rumah mertua, ngurusi pula." Suara Septi memulai pembicaraan setelah Niah berpamitan untuk menjemput anaknya. Penjemputan anak nanti masih ditambah dengan mengurusi mertua yang sudah sangat sepuh.
"Diaz juga kebangetan," ucap Hera. Hera hafal betul bagaimana kepribadian Diaz. Mereka dulu seangkatan saat sekolah.
"Nggak bantu-bantu. Malah apa-apa harus disediakan sama Niah."
"Tapi Niah termasuk perempuan yang hebat. Coba kalau aku yang nasibnya kayak gitu, bisa marah tiap hari," seloroh Intan, si centil yang membawa keceriaan di antara kami berempat.
Saat mendengar percakapan hangat saat jam istirahat itu, aku tertawa kecil. Namun, dalam hati kecilku berkata, kalau suamiku sebelas-duabelas dengan suami Niah, Diaz.
Sahabat-sahabatku itu hanya tahu hal-hal ringan yang kualami. Kisah masa laluku saat awal menikah hingga memiliki tiga anak, tidak mereka ketahui. Hanya saudaraku yang hafal, bagaimana aku harus melakukan banyak hal. Dari pagi hingga pagi lagi.
**
Menjalani kehidupan yang timpang, pasti sangat lelah. Perempuan sepertiku harus melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fisik seperti angkat galon air, dan gas. Belum lagi menjadi ojek bagi anak-anak dan mengurusi rumah dan seisinya.
Dulu, aku sangat takut dengan penilaian orang lain kalau rumah berantakan, makanya aku mati-matian menjaga rumah dan seisinya. Hingga aku menyadari kalau ketakutan dan kelakuanku itu membuat mentalku terganggu. Aku menjadi sering cemas dan panik luar biasa. Kalau sudah seperti itu, nafas terasa berat dan sesak. Konsentrasi buyar, dan sering terkejut dengan segala sesuatu. Benar-benar menyiksa. Tak jarang aku menangis saat melihat si kecil tidur dan menyadari kalau jiwaku rapuh.
Untuk memulihkan mentalku, aku mendatangi seorang psikiater, meski Mas Sean, suamiku, semula tak mengizinkan. Larangan Mas Sean tak menyurutkan aku untuk berkonsultasi. Aku menyayangi anak-anak, karenanya mentalku harus segera pulih. Begitu pikirku.