Seiring berjalannya waktu, hati dan pikiranku lebih terkendali. Akupun lebih santai menjalani hidup dan rumah tangga.
***
Kutepis pikiran yang melanglang buana ke masa lalu. Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan.
Candaan hangat di waktu istirahat ini kemudian berlanjut dengan obrolan yang menyinggung tentang lelaki yang pernah mengisi hati Hera, Antok. Rumah tangga Hera memang sedang menghadapi badai. Aku sendiri tak terlalu mencampuri urusan mereka. Urusanku sendiri saja sudah berat, jadi tak perlu memikirkan terlalu dalam rumah tangga orang.
"Kamu nyesel, nggak jadi sama Antok?" goda Septi. "Kamu sih, dulu ninggalin. Malah nerima Tyo."
Candaan itu ditanggapi Septi dengan entengnya. "Antok besok lebaran mudik," cerita Hera. "Berarti kamu seneng dong, mau ketemuan sama mantan."
Obrolan seperti itu memang bisa membuatku ikut tertawa. Namun, hatiku gamang dan begitu khawatir kalau pada akhirnya aku malah akan bernasib seperti Septi, menduakan hati. Pasti itu akan melukai hati anak-anak dan keluarga.
"Tidak. Aku harus tahu batasan. Aku sudah menerima Mas Sean tanpa paksaan. Kalaupun dalam perjalanannya Mas Sean tak sesuai ekspektasi, bisa jadi dia juga berpikir hal yang sama tentangku."
**
Sore hari, di rumah. Deru suara motor Mas Sean terdengar. Aku memberikan aba-aba kepada si kecil untuk bersalaman dengan ayahnya.
Dengan berlari kecil, si kecil menghampiri ayahnya, lalu kembali lagi ke ruang keluarga untuk melanjutkan menonton televisi.