Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenapa Aku Belajar di Rumah, Ibu dan Ayah Bekerja di Luar Rumah?

11 Agustus 2020   12:09 Diperbarui: 11 Agustus 2020   12:17 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: genpi.co

Aku sekarang kesal sekali. Sudah pukul lima sore, ibu dan ayahku belum juga sampai rumah. Padahal pelajaran dan tugas hari ini belum aku kerjakan. Aku pingin nangis rasanya. Apalagi aku tahu kalau teman-teman sudah mengumpulkan tugas sejak siang tadi.

Kalau sesekali terlambat mengumpulkan tugas sih nggak apa-apa. Tetapi kalau hampir setiap hari, aku malu pada Bu guru dan teman-teman. 

Ah...aku jadi berpikir kalau saja ibu tidak bekerja di luar rumah, pasti aku tidak sekesal ini. Saat belajar di rumah karena masa pandemi, semula aku senang. Tetapi lama-kelamaan aku sedih.

Dulu, pas aku kelas IV, ibu dan ayah juga berada di rumah. Mereka bilang WFH begitu. Work from home. Bekerjanya di rumah. Tetapi setelah beberapa bulan kemudian, ibu dan ayah harus berangkat kerja ke kantor dan sekolah.

**

"Ibu, ini bagaimana mengerjakannya?"

Aku sudah memegang HP ibu dan mulai mengerjakan tugas Matematika. Kelas V, materinya sama dengan materi kelas IV, tentang pecahan.

Tetapi aku agak lupa cara mengerjakan penjumlahan bilangan pecahan yang penyebutnya beda angkanya. Harus mencari KPK atau FPB. Ahhh...pusing!

"Ibu mandi dulu ya, nak."

"Tetapi, Bu. Ini sudah sore! Sebentar lagi Maghrib."

**

"Nggak usah buru-buru, nak. Kan Bu guru ngasih batas waktu sampai jam delapan malam." Ucap ibu sambil mengajakku makan malam.

Aku cemberut. Rasanya aku mau nangis. Aku merasa ibu dan ayah tidak mengerti aku. 

Aku segera makan dengan ayah dan ibu. Tetapi nasi dan lauk di piring tidak kuhabiskan. Aku menuju kamar. Dua tugas dari Bu guru belum aku kerjakan. Padahal sekarang pukul 18.45.

**

Aku mengerjakan tugas pelajaran Tematik dulu. Menentukan ide pokok. Dulu di kelas IV pernah aku pelajari. Kukira aku bisa mengerjakannya dengan mudah.

Aku memang senang dengan materi membaca seperti itu. Tetapi kalau Matematika, aku kesulitan. Aku harus dibantu untuk mengingat kembali cara menjumlahkan pecahan yang penyebutnya berbeda.

"Sudah selesai, nak?" Ayah berdiri di pintu kamar. Lalu ayah mendekatiku.

Aku menggelengkan kepala.

"Matematikanya belum, yah." Ucapku sebal.

Ayah mendekatiku dan duduk di kursi sebelahku.

"Sini ayah ajari. Begini-begini ayah dulu jago pelajaran Matematika lho..."

Lalu aku diajari ayah untuk mengerjakan tugasku. Ada lima soal dari Bu guru. Satu soal dikerjakan bersama ayah. Ternyata untuk menjumlahkan bilangan pecahan yang beda penyebutnya, aku harus mencari KPKnya dulu.

Iya. Aku jadi ingat lagi. Bu guru dulu juga mengajariku seperti itu. Langkah berikutnya, kalau sudah ketemu KPKnya, bilangan itu dibagi penyebut lalu dikalikan dengan masing-masing pembilangnya. Setelah itu baru dijumlahkan hasil perkaliannya.

Aku jadi lega. Mengerjakan tugas Tematik dan Matematika tidak sampai jam delapan malam. 

"Tuh kan. Yang penting kamu tenang, belajarnya pasti mudah."

"Iya, Yah."

Ayah keluar dari kamarku. Aku tinggal mengirimkan tugas kepada Bu guru. 

***

"Ibu, aku dibelikan HP ya! Biar aku bisa langsung mengerjakan tugas. Nggak harus menunggu ibu dan ayah pulang."

Ibu tersenyum.

"InsyaAllah kalau ada rezeki ya, nak." 

Aku duduk di samping ibu yang sedang menonton televisi. 

"Tapi, Bu..."

"Kalau kamu dibelikan HP, trus kalau ada tugas Matematika, apa kamu bisa langsung mengerjakan sendiri?" Ayah bertanya padaku. Aku menggelengkan kepala.

"Kalau kamu memang bisa mengerjakan tugas sendiri, ayah belikan. Tapi kalau masih nunggu ibu atau ayah mengerjakannya, ya nggak usah beli..."

Aku mengangguk. Aku paham, mengerjakan tugas itu tak boleh asal lalu mengumpulkan ke Bu guru. Mengerjakan tugas ya benar-benar harus belajar dan butuh bantuan ibu dan ayah. 

"Tapi kalau aku belajarnya di rumah, kenapa ibu dan ayah malah berangkat ke kantor dan sekolah?"

"Ibu dan ayah sudah dewasa, bisa menjaga diri biar nggak kena virus Corona. Tetapi anak seusiamu, belum bisa."

"Ayahmu benar, nak. Murid ibu yang kelas I kalau bermain nggak bisa jaga jarak. Kan khawatir juga kalau seperti itu."

Ah iya. Aku lupa kalau aku dan teman-teman kalau berkumpul sering bergandengan tangan, bermain juga tidak jaga jarak. Padahal kami sudah kelas V.

"Semoga virus Corona lekas hilang ya, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun