Akhirnya aku sampai di Rumah Sakit di daerah Karangmojo. Aku bertanya kepada satpam di mana letak ruangan inap Sherly, isteriku.
Perasaanku yang sedari tadi tak karuan semakin merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku membuat celaka isteri dan calon babyku. Aku kuatkan diri untuk menemui dan meminta maaf kepada Sherly.
Entah seperti apa dan bagaimana kondisinya. Aku setengah berlari membaca tanda arah menuju ruangan inap Sherly.
Setelah bersusah payah mencari ruang inap Sherly, akhirnya kutemukan juga. Antara lega, merasa bersalah campur aduk. Dadaku berdesir merasakan betapa sakitnya isteriku itu. Dia harus menerima kenyataan pahit akibat perlakuanku. Ya perlakuan suami yang tak mau menerima penjelasan darinya.
Aku masuk ruang inap Sherly yang tak begitu luas. Saat aku masuk, ibuku membujuk Sherly agar mau makan. Sherly bersikeras tak mau. Dia hanya menangis, meratapi dirinya.
Dengan ragu kudekati dirinya. Menyadari kehadiranku ibu menjauhi Sherly. Sherly terpaku begitu melihatku, dengan wajah sembabnya. Ah .. lama tak melihatnya, sekarang kondisinya sangat kuyu. Wajah pucat, tubuh terlihat lebih kurus, mata yang kosong.
Kudekati belahan hatiku. Kucium keningnya. Kudengar tangisnya menjadi-jadi. Meratapi dirinya yang tak bisa menjaga janin, buah cinta kami.
Kupeluk dia. Dalam dekapanku dia terus menangis dan menyesali kondisinya.
"Aku ingin mempertahankan anakku, mas... Aku ingin pulang sekarang. Aku akan merawat dia...", Dia tergugu. Ya aku paham dengan perasaannya. Aku merasa berdosa karena akulah yang menjadi penyebab orang terkasihku menderita.
Dari pesan duda itu aku tahu kalau selepas kudorong Sherly, dia bedrest. Tapi aku tak menyadari kalau Sherly tengah hamil. Dia belum cerita akan hal itu. Emosi menguasai hatiku.
Hatiku menjadi sesak dan sakit melihat betapa terpukulnya Sherly.