Pasti semua sepakat jika saya katakan bahwa pendidikan itu bukan hanya beban sekolah, terutama Pendidikan Karakter. Pendidikan Karakter harus menjadi tanggungjawab semua orang dewasa, apapun profesinya.
Pak Polisi, jika anda selalu dengan tegas dan keras menolak sogokan dari seorang bapak yang melanggar peraturan lalu lintas, terlebih di dalam mobil bapak itu duduk seorang anaknya yang remaja, penolakanmu itu adalah Pendidikan Karakter.
Para bintang sinetron, saat anda menolak membintangi serial sinetron abal-abal, karena alur ceritanya yang dangkal dan tidak menggunakan rasio, karena dialognya yang tidak beretika, karena mempertontonkan hedonisme, saat anda lakukan itu, itu adalah Pendidikan Karakter. Dan anda menolak juga membintangi iklan yang menipu dan membodohi, itu juga Pendidikan Karakter.
Supir bus kota, ketika anda menolak berhenti untuk menaikkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya, menolak berhenti menurunkan penumpang di sembarang tempat, itu Pendidikan Karakter juga.
Ketika sidang Parlemen mencapai korum, tertib dan hikmad, itu Pendidikan Karakter. Ketika seorang Bapak lebih memilih hidup pas-pasan dari gaji, menolak hidup mewah dari hasil korupsi, itu Pendidikan Karakter yang luar biasa bagus.
'5. Salah Kaprah Pemerintah
Sejak tahun 2015, pentingnya Pendidikan Karakter kembali didengungkan dengan keras, meski hingga kini kita belum mengetahui wujudnya seperti apa. Tetapi yang saya amati, titik fokus Pemerintah peri hal Pendidikan Karakter adalah dengan memasukkannya ke kurikulum persekolahan.
Ini kesalahan pertama, karena kurikulum persekolahan itu hanya menjangkau usia yang terbatas (usia sekolah), pada waktu yang terbatas (saat jam pelajaran), di tempat yang terbatas (hanya di sekolah). Pertanyaan, bagaimana dengan karakter DPR, karakter birokrat, karakter politikus, karakter polisi, karakter tentara, karakter guru, karakter hakim, karakter jaksa, karakter dokter, karakter orangtua, dan lain-lain?
Idealnya adalah Pendidikan karakter mencakup semua usia, setiap saat, di semua tempat. Baiklah, mungkin anda katakan Pendidikan Karakter yang seperti itu adalah utopia, dan sayangnya anda betul. Tetapi, usaha harus kita arahkan menuju yang ideal itu, harus begitu.
Kesalahan kedua ada di metode yang out-in. Pendidik menjejali peserta didik dengan pengetahuan tentang karakter, lalu berharap hal itu akan menumbuhkan karakter positip di dalam diri peserta didik, itulah tepatnya yang dilakukan dengan metode out-in.
Pengetahuan diisi melalui pengajaran, tetapi karakter ditumbuhkan melalui percontohan, tepatnya menjadi contoh. Maka penuhilah dulu dirimu dengan karakter positip, penuh hingga meluber ke orang lain di sekitarmu, itulah metode in-out. Metode in-out itulah yang membuat para Nabi diingat dan diikuti sepanjang masa, khotbah mereka bukan dengan mulut tetapi dengan perilaku.