Mohon tunggu...
Jonathan Hendrik Tamboto
Jonathan Hendrik Tamboto Mohon Tunggu... Murid

Murid Kolese Kanisius

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Republik Hantu: Ketakutan, Moral yang Runtuh, dan Hukum yang Lumpuh

17 September 2025   22:44 Diperbarui: 17 September 2025   22:44 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia menghadapi krisis kepercayaan akibat fobia massal, kemerosotan moral pemimpin, dan lemahnya penegakan hukum.

Teks pertama ini membahas masalah fobia berlebihan masyarakat Indonesia terhadap ulat bulu, yang disebut sebagai "fobia massal di republik hantu". Penulis berpendapat bahwa ledakan populasi ulat bulu bukanlah ancaman serius bagi pertanian, lingkungan, atau kesehatan, melainkan bagian dari siklus alam. Ulat bulu akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah , dan pohon buah-buahan justru akan berbuah lebat setelah daunnya habis dimakan ulat. Fobia ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang siklus hidup ulat dan adanya gangguan pada siklus alam, seperti pemanasan global, penggunaan pestisida yang berlebihan yang membasmi predator alami, dan penangkapan burung pemangsa ulat. Lebih dari itu, penulis juga mengaitkan fobia ini dengan masalah moralitas para pemimpin dan tragedi nasional, seperti kemiskinan dan korupsi. Fobia ini, baik pada masyarakat maupun pemimpin, pada akhirnya akan merugikan dan menghambat kehidupan penderitanya.

fobia berlebihan masyarakat Indonesia terhadap ulat bulu

Pada teks kedua, masalah utama yang dibahas adalah kemerosotan etika dan moralitas para elit politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia. Penulis menyoroti bagaimana anggota DPR mengabaikan sumpah jabatan yang mereka ucapkan, yang seharusnya berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Masalah ini diperlihatkan melalui upaya anggota DPR untuk merevisi Undang-Undang Pilkada demi mengangkangi keputusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, teks juga membahas bahwa etika kehidupan berbangsa yang sudah diatur dalam Ketetapan MPR No. VI/2001 kini hanyalah "teks mati" yang tidak lagi dipegang teguh. Penulis juga mencerminkan bahwa tuntutan reformasi 1998, seperti penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Krisis ini diperparah dengan hilangnya figur-figur "muazin" atau teladan bangsa, yang membuat bangsa ini seolah-olah kehilangan ara

Kemerosotan etika dan moralitas para elit politik dan anggota (DPR)

Berdasarkan teks ketiga, masalah utama yang dibahas adalah buruknya penanganan hukum dan ketidakjelasan dalam kasus pengusutan pagar laut ilegal di Banten. Penulis mengkritik lambatnya dan simpang siurnya proses hukum oleh berbagai instansi pemerintah, seperti TNI Angkatan Laut, Kepolisian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Situasi ini menciptakan kesan bahwa pemerintah sengaja mengabaikan kasus tersebut, yang berpotensi memicu konflik sosial dan mengikis kepercayaan publik. Lebih jauh, artikel ini menyoroti dugaan keterlibatan pengusaha besar dari Agung Sedayu Group yang sedang membangun proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coasland, yang diduga terkait dengan pagar laut ilegal tersebut. Masalah ini diperumit oleh fakta bahwa proyek PIK 2 ini sendiri bermasalah, tidak sesuai dengan tata ruang wilayah, dan ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sarat dengan dugaan politik balas budi. Dengan demikian, permasalahan ini mencakup tidak hanya penegakan hukum yang lemah, tetapi juga dugaan korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan antara pemerintah dan pengusaha.

 Buruknya penanganan hukum dan ketidakjelasan dalam kasus pengusutan pagar laut ilegal di Banten

Krisis moralitas dan etika para pemimpin yang dibahas dalam teks kedua dan pertama menjadi akar dari kegagalan penegakan hukum yang dijelaskan dalam teks ketiga. Para pemimpin yang tidak lagi berpedoman pada sumpah dan etika cenderung lebih mudah terlibat dalam praktik kolusi dan mengabaikan kepentingan publik demi keuntungan pribadi atau golongan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan perangkat hukum melemah, yang bisa memicu konflik sosial. Selain itu, krisis keteladanan ini juga berkontribusi pada fenomena "fobia massal" di masyarakat, di mana ketakutan dan ketidakpahaman tidak diluruskan oleh figur-figur yang berintegritas. Semua masalah ini secara kolektif menggambarkan potret "republik hantu" di mana tragedi dan masalah serius dianggap sebagai lelucon.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun