Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Pasal-pasal Kontroversial di KUHP Baru

10 Desember 2022   00:26 Diperbarui: 12 Desember 2022   06:01 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber imaji: kompasiana.com

"Semua hanya soal sudut pandang" (Darwis Triadi, fotografer senior)

Berkali-kali quote favorit itu saya  kutip di banyak tulisan. Walau asbabun nuzulnya adalah soal teknik fotografi, fatwa Darwis Triadi itu kompatibel dengan semua aspek kehidupan, termasuk hukum dan perundangan. Ambil contoh, pasal 264 KUHP baru yang bikin media sekaliber Kompas pun jiper. Begini bunyi pasal itu:

Pasal 264
Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Pihak pro KUHP baru menangkis tudingan bahwa pasal tersebut berpotensi mereduksi kebebasan pers, legacy paling berharga mantan Presiden Habibie. Dalih yang digunakan adalah syarat timbulnya kerusuhan di masyarakat. Jadi, berita "menyesatkan" (saya ringkas saja demikian) asal tidak menimbulkan kerusuhan di masyarakat, boleh disiarkan.

Pihak kontra, contohnya (gak usah jauh-jauh) Kaka Mimin Kompasiana tentu khawatir karena definisi berita tak pasti,  berlebihan, dan tak lengkap itu multitafsir. Sehingga, dalam maklumat penasbihan isu ini sebagai topik pilihan berjudul DAMPAK KUHP BARU KE KREATOR KONTEN , Kaka Mimin menyelipkan pesan, "Tahukah Kompasianer bahwa ada sejumlah pasal dalam KUHP baru yang mungkin akan mempengaruhi aktivitas kita di dunia kepenulisan, content creator, dan media sosial?"

Selain Kompasiana, banyak pakar, aktivis media, praktisi dan organisasi jurnalistik yang memprotes pasal-pasal dimaksud. Contohnya pasal 264 itu. Apalagi pasal mengenai penyebaran paham anti Pancasila yang mengandung kalimat "Marxisme, Leninisme, dan lainnya". Tafsir atas frasa "dan lainnya" tentu sangat elastis. Dan ya, itu meresahkan.

Tapi, sebagai penggembira dunia kepenulisan, saya coba memahami mengapa aturan-aturan itu perlu dibuat. Saya nggak ngerti hukum, tapi insyaAllah tidak malas mencermati dinamika pemberitaan, baik di media massa mainstream maupun medsos. Dan saya menemukan kenyataan, betapa banyak persoalan yang memang harus jelas aturan mainnya.

Contoh kasus dua konten dari kanal youtube berikut bisa dijadikan simulasi untuk memahami pasal-pasal kontroversial itu. Maaf kalau yang terpilih adalah dua video persidangan kasus Ferdy Sambo yang pemberitaannya sudah too much.

Mohon maaf juga, agar tulisan ini tidak menimbulkan kesalahpahaman, dua video yang saya lampirkan mohon disimak dengan cermat.

Di video pertama (milik akun Kompas.com) pada menit ke 5;25 hingga 5;35, dengan jelas menayangkan keterangan Ferdy Sambo sebagai saksi tentang senjata api jenis HS yang ia gunakan untuk menembaki dinding dengan tujuan kamuflase. Senpi itu, versi Sambo, ia ambil dari pinggang Joshua.

Video 1


Video 2

Lalu bandingkan dengan video ke dua. Perhatikan judulnya: MOMEN SAMBO KECEPLOSAN AKUI TEMBAK PUNGGUNG JOSHUA.

Entah disengaja sebagai click bait, entah karena keteledoran content creatornya, entah pula bila memang ada tujuan tertentu, judul, deskripsi, dan narasi video ke dua itu nyata menyesatkan. Selain tidak lengkap, tidak cermat, juga tidak bersesuaian dengan konten videonya sendiri.

Dalam video ke dua itu, seorang jaksa (perempuan) sambil menunjukkan barang bukti bertanya apakah senjata api jenis HS itu yang diambil dari punggung Joshua untuk menembaki dinding. Sambo mengiyakan.

Perhatikan, sebenarnya jaksa itulah yang terpeleset lidah menyebut kata pinggang dengan kata punggung. Di kedua video itu, keterangan yang diminta dari Sambo adalah apakah benar senpi HS itu ia ambil dari pinggang (bukan punggung, versi jaksa) Joshua.

Terlebih lagi, dalam video ke dua itu, walau ucapan jaksa tidak begitu jelas karena bicara sambil bergerak-gerak sehingga mereduksi kualitas suara, masih sangat bisa didengar tak ada sama sekali kata "menembak punggung". Yang ada "diambil dari punggung".

Tapi, sekali lagi saya berharap ini hanya keteledoran, karena judul yang digunakan tendensius dan tidak bersesuaian dengan konten, video ini mutlak menyesatkan. Untungnya tidak timbul kerusuhan di masyarakat akibat kebodohan macam ini. Yang ada hanya hujan hujatan pada Ferdy Sambo di kolom komentar video milik akun "CATATAN HITAM" yang saat tulisan ini dibuat sudah ditonton 6.500 kali. Dan untungnya lagi bagi si pemilik akun, KUHP baru mulai berlaku tiga tahun mendatang.

Kasus misleading seperti ini (sekadar contoh, bukan bermaksud membela Sambo) tidak sedikit bertebaran di media. Kebanyakan karena ketergesaan penayangan, keteledoran dalam proses pembuatan, kemalasan melakukan riset, dan kebodohan content creatornya. Tapi ada juga yang sengaja menggunakan framing  menyesatkan.

Apapun motif dan modusnya, penyiaran materi media yang buruk dan menyesatkan seperti itu jelas kontraproduktif untuk kehidupan bernegara. Saya pun bisa memahami memang dibutuhkan aturan hukum yang jelas dan.pasti sebagai solusinya.

Akhirnya, pro atau kontra terhadap KUHP baru memamg hanya soal sudut pandang. Maka, silahkan demo atau mengajukan judicial review. Tapi sementara itu, kiranya lebih tepat kalau kita, Kompasianer, memilih bersikap bijak dalam memproduksi konten media. Salam waras. (John Doe, selagi sopan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun