Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Jakarta yang Akan Tenggelam, Kok Biden yang Ketar-ketir?

2 Agustus 2021   09:16 Diperbarui: 6 Agustus 2021   12:01 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan mangrove & tanah reklamasi di utara Jakarta (Dokumentasi pribadi)

"...what happens in Indonesia if the projections are right that, in the next 10 years, they may have to move the capital city because they will be underwater?" Joe Biden (Today's World News, 30 Juli 2021)

Wacana bahwa Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi yang dilempar presiden Amerika Joe Biden 27 Juli yang lalu yang dilansir menjadi dengungan oleh berbagai media di Nusantara itu sebenarnya bukan hal baru. 

Minimal sudah sejak dekade 80an berbagai hasil survei dan penelitian geodesi dan hidrologi mengungkapkan risiko tenggelamnya Jakarta di masa mendatang. 

Menurut the World Economic Forum atau WEO (2019), selain Jakarta, ada 10 kota di dunia yang bisa lenyap pada akhir abad 21 ini karena tenggelam akibat naiknya permukaan laut dan turunnya tinggi permukaan tanah yaitu: Lagos, Houston, Dhaka, Venezia, Virginia Beach, Bangkok, New Orleans, Rotterdam, Aleksandria dan Miami.

'Sialnya' dengan kecepatan penurunan tanah sekitar 17 cm per tahun, Jakarta berada pada peringkat pertama kota yang akan tenggelam. 'Apesnya' walaupun ada 4 kota di Amerika Serikat yang juga akan tenggelam, Joe Biden malah menggaris-bawahi Jakarta.

Lalu ngapain kok Joe Biden, Presiden Amerika Serikat sampai "mengkhawatirkan Jakarta" ketimbang mengurusi 4 kota di negaranya sendiri? 

Secara negatif, kita boleh saja menduga adanya kepentingan geo-politik Amerika Serikat di balik pidatonya yang disampaikan di kantor Direktur lembaga intellijen nasional negara itu. Perubahan iklim seperti juga kelangkaan enerji adalah komoditas baru dalam perekonomian dan politik dunia saat ini untuk membangun aliansi.

Sebaliknya, kalau kita mau berpikir positif, mungkin Biden melihat bahwa peran kota Jakarta sepanjang abad ke-21 ini dari sisi politik dan ekonomi internasional akan semakin besar. Atau justru lebih jauh lagi: mungkin seorang Joe Biden melihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah RI selama ini untuk menyelamatkan Jakarta dari tenggelam belumlah cukup?

Menurut catatan saya ada empat langkah utama yang sudah (atau baru?) dilakukan pemerintah pusat dan DKI untuk menyelamatkan Jakarta dari "ketenggelamannya".

Pertama, pembangunan tanggul atau tembok laut raksasa berbiaya total 600 trilyun rupiah dari APBN dan APBD dalam kerangka National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). 

Secara singkat tanggul ini direncanakan membentang sepanjang 32 km untuk melindungi Teluk Jakarta dengan ditopang oleh 17 pulau buatan hasil reklamasi yang jika dilihat dari angkasa akan membentuk burung Garuda yang mengembangkan sayapnya. Tujuan tanggul laut ini jelas untuk membendung dampak naiknya permukaan air laut yang menyebabkan banjir pasang di utara Jakarta. 

Banyak pihak yang mengkritisi tanggul ini karena dianggap tidak membenahi akar persoalan yaitu penurunan permukaan tanah. Ide tanggul ini juga dikecam sebagian kalangan karena dianggap justru akan menjebak Jakarta dalam genangan karena mempersulit sungai-sungai untuk membuang air ke lautan. 

Sudah terbangun 4 pulau penopang, Gubernur Anies menghentikan pembangunan proyek ini sejak akhir 2018 karena pembangunan pulau-pulau reklamasi sebagai penopang tanggul diduga tidak disertai hasil analisis dampak lingkungan yang semestinya. 

Kedua, peraturan daerah tentang pajak air tanah (Perda no 38 tahun 2017) yang dikeluarkan pada masa Plt. Soni Sumarsono. Turunnya permukaan tanah di Jakarta yang utamanya disebabkan oleh pemompaan air tanah ke permukaan oleh gedung-gedung dan perumahan warga hanya di-disuasi dengan pemajakan. 

Ketiga, berbagai peraturan dan proyek pembangunan sumur resapan. Untuk mencegah turunnya permukaan tanah, pembangunan sumur resapan air hujan adalah salah satu tindakan yang diandalkan pemprov DKI. 

Gubernur Wiyogo Atmodarminto adalah gubernur pertama yang mewajibkan pembuatan sumur resapan sebagai syarat mendapat izin membangun gedung di DKI lewat Pergub 20/2013. 

Kementerian Lingkungan lewat kepmen 12/2009 juga mensyaratkan pembuatan sumur resapan dalam perijinan pembangunan gedung-gedung untuk kepentingan usaha. 

Gubernur Anies sendiri yang dalam pemerintahannya mencanangkan untuk membangun 1,8 juta sumur resapan baru bisa membangun 15 ribu sumur (Suara.com 24 Februari 2021). 

Empat, pembesaran kapasitas sungai, terutama Ciliwung. Kapasitas sungai sebagai wahana membuang air hujan ke laut memegang peranan penting untuk mencegah tenggelamnya Jakarta. 

Pendalaman, pelebaran, dan penguatan dinding sungai yang gencar dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan merelokasi warga yang tinggal di bantaran kini mengalami perlambatan di masa pemerintahan Gubernur Anies yang menolak untuk merelokasi warga. 

Akhirnya bisa disimpulkan bahwa sangat wajar Joe Biden untuk kethar-kethir akan masa depan Jakarta. 

Keempat langkah yang sudah (atau baru?) dilakukan oleh Indonesia jelas menampilkan tiga hal yaitu konflik kepentingan politik, kurangnya keterlibatan semua pihak, dan perencanaan jangka panjang yang tidak menyeluruh yang menyebabkan implementasi kebijakan yang lambat, tidak berkesinambungan dan bahkan tersendat.

Belum lagi kalau kita ingin mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang lebih berani seperti pelarangan pembangunan infrastruktur masif di utara Jakarta, pelarangan total penyedotan air tanah atau perombakan utara Jakarta menjadi kota spon (Velasquez, 2017).

Boleh jadi Jakarta sudah bukan lagi ibu kota Indonesia dalam 5 atau 6 tahun ke depan, namun sebagai pusat perekonomian, perdagangan dan bisnis di Asia Tenggara pastinya peran Jakarta belum akan tersaingi oleh kota manapun di Indonesia dalam 5 dekade yang akan datang. 

Bisa dibayangkan betapa kolosalnya dampak ekonomi bagi Indonesia dan Asia Tenggara jika Jakarta tergenang dalam suatu periode yang lama di masa depan, kalau tidak ingin menyebutnya sebagai 'tenggelam'.

Tenggelamnya Jakarta memang tidak akan terjadi besok. Tapi dengan skenario kebijakan yang seringkali disebut sebagai business-as-usual terjadi seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan terjadi dalam 10 tahun seperti perkiraan Joe Biden atau tahun 2050 seperti perkiraan the World Economy Forum.

Jika COVID-19 yang sudah berdiri di depan pintu kamar kita masing-masing masih sulit untuk membuat kita bergerak dan bereaksi cepat, apalagi penurunan tanah atau naiknya permukaan air laut yang tidak terlihat?

Belanda masih jauh? De hollanders zijn nog ver?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun