Masyarakat Ekonomi ASEAN ya ASEAN Economic Community segera tiba dan melanglang buana di bumi Nusantara ini. E,e,e...tretek, tek, tek!
Ananging ta kudu kudu,
Sakadarira pribadi,
Aywa tinggal tutuladan,
Lamun tan mangkono kaki,
Yekti tuna ing tumitah,
Poma kaestokna kaki....
MEA. Sebuah program kerjasama negara-negara yang tergabung dalam anggota Association of South Easth Asian nastions pada akhir 2015 nanti. Sebuah program jangka panjang yang mengakomodir seluruh aspek yang berkaitan dengan perekonomian dunia Asia Tenggara dengan tujuan utama mengimplementasikan pasar persaingan bebas untuk meningkatkan level perekonomian negara-negara anggota ASEAN.
Yang namanya perekonomian, tentulah tak luput dari aktivitas moneter atau finansial sehingga MEA yang notabene merupakan sebuah komitmen negara-negara anggota ASEAN mau tidak mau harus mampu mempersiapkan dirinya agar pada waktu menjalin kerjasama saling menguatkan dan saling menopang beban kondisi perekonomian. Pada tahapan persiapan inilah yang sampai saat ini, Indonesia dinilai banyak kalangan belum sepenuhnya siap dalam menghadapi MEA. Meski sampai akhir 2015 nanti, akumulasi perekonomian nasional diperkirakan mencapai angka 83 persen, tetapi kenyataannya perekonomian beberapa triwulan terakhir tahun 2015 menunjukkan perlambatan yang bergitu nyata. Aktivitas perekonomian secara agregat terlihat lumpuh akibat situasi politik, keamanan serta sosial yang masih menghinggapi. Belum lagi ditambah dengan bencana alam di Indonesia baru-baru ini terbilang masif dan signifikan dalam memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat.
Bila beberapa pakar ekonomi lebih menyoroti permasalahan Indonesia sendiri, baik secara internal maupun secara beberapa faktor eksternal yang memungkinkan berdampak pada Indonesia, justru kali ini yang perlu dicokolkan ke permukaan adalah mengenai bagaimana sistem dan regulasi dari MEA itu sendiri. Di Eropa, kita kenal instrumen transaksi perekonomian komunitasnya dan berlaku secara sama di berbagai negara anggotanya adalah mata uang EURO. Sebagai satu komunitas, tentulah sangat perlu menciptakan kesamaan instrumen pembayaran untuk memudahkan transaksi. Yang masih menjadi pertanyaan adalah, instrumen pembayaran seperti apakah yang nanti digunakan saat MEA berlangsung?. Dari sisi Indonesia sendiri, setidaknya terdapat beberapa restriksi yang mungkin perlu dijelaskan oleh otoritas keuangan nasional kepada masyarakat mengenai sistem transaksi ekonomi pada MEA nanti.
Bila instrumen transaksi masih belum menyatu, bisa dibayangkan orang beli di pasar tradisional Indonesia, satunya memakai uang ringgit, satunya uang Bath, satunya lagi uang Dong, satunya lagi dollar, sungguh lucu bila tidak satu mata uang. Di sisi ini, Indonesia juga belum mengumumkan apa sistem perbangkan yang perlu dipersiapkan, artinya jasa keuangan atau yang berhubungan dengan kategori tersebut juga belum ada tanda-tanda konkret menginformasikan kepada publik mengenai sistem pelayanan keuangan bila seseorang nasabah nantinya memakai uang MEA dalam aktivitas ekonominya.