Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gadis Perbatasan

10 April 2020   10:12 Diperbarui: 10 April 2020   10:55 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gadis perbatasan (dokpri)

Bagaimana kau bisa berjumpa dengannya lagi jika ia berada di tempat yang tak mungkin kau tuju dan hanya menjadi kenangan atas keberanianmu

Kau tak mungkin pergi ke wilayah tertutup itu jika kau tak tahu caranya. Aku berpikir dan terus mempertimbangkan apakah aku bisa ke sana, masuk melalui perbatasan, menerobos penjagaan ketat, peluang besar tertangkap menghantui, dan nasib tak pulang selamanya sangat besar. Benar-benar tindakan yang bodoh jika aku menuruti pikiranku sekarang.

Namun kata hati bicara lain. Dengan pelan berulang ia memanggilku, seolah-olah ada yang menarik, mengajak keberanianku untuk lebih sombong dan angkuh. Suatu keinginan yang tak masuk akal pun apakah dapat dikalahkan oleh suara hati. Namun kenyataannya itulah yang terjadi. Kata hatimu membuat kau bisa lakukan apapun dalam suatu imajinasi yang diproyeksikan di langit-langit dalam kepalamu. Bergerak, melompat tak beraturan, menari, terbang, meluncur seperti roket, memancar lebih cepat dari cahaya.

Kau liar berimajinasi. Sesuatu yang tak terjadi pun sudah terjadi dalam pikiranmu. Mereka pikir kau adalah orang gila yang berfiksi sesuka hati. Namun kau tak dengarkan bisikan itu, gunjingan apalagi hasutan dibiarkan berlalu. Kau adalah imaji yang terproyeksi di pikiran dan hatimu saat ini.

Aku memutuskan untuk mencari cara bagaimana pergi menerobos tempat berbahaya itu. Melalui situs pencari Baidu kujelajahi laman per laman. Beberapa menawarkan cara untuk masuk dengan nyaman. Tinggal memilih masuk dari tanggal berapa dan ingin menginap berapa hari. Sempat kumerasa curiga apakah ia yang menawarkan bepergian ke tempat itu benar-benar dapat dipercaya.

Kucoba memberitahukan maksudku dan mulai bernegosiasi. Tak ada sedikit pun kecurigaan karena ia memberikan banyak bukti perjalanan sebelumnya. Mulus dan lancar. Akhirnya aku memilih tanggal yang pas untuk berangkat. Kupersiapkan barang-barang setelahnya. Kuingat satu persyaratan agar membawa kamera digital saku karena aku tak diperbolehkan membawa ponsel masuk.

Kupesan tiket kereta, menempuh 12 jam perjalanan ke kota dekat perbatasan. Sampai di stasiun aku dijemput oleh seseorang dari agen yang kuhubungi sebelumnya. Ia membawaku ke kantornya dan meminta dokumen-dokumenku. Ia mencatat dan menyusun semua dokumen dengan rapi, cepat, karena memang mereka terbiasa bekerja cepat. Kemudian aku diajak berjalan menuju suatu pos yang terlihat seperti terminal bus.

Aku disuruh bergabung dengan beberapa orang lain, berkumpul, mendengarkan arahan dari seorang agen. Aku mendengar beberapa hal tentang larangan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan selama masuk ke dalam. Aku rasa semua orang sudah tahu bahwa mereka akan berada di tempat yang aturannya tak pernah mereka pahami karena semua hal buruk dapat terjadi.

Satu bus berukuran sedang datang mengangkut kami. Perjalanan pun dimulai dengan memasuki jembatan, pelan menerobos perbatasan. Perbatasan yang kami lewati adalah satu jalan yang dapat dilewati dua kendaraan besar. Di sebelahnya adalah jalur kereta api untuk mengangkut barang dan penumpang. Sang presiden pun pernah berkunjung ke luar menaiki kereta khusus lewat rel ini. Tentunya kereta yang telah dimodifikasi dengan sangat mewah dan elok.

Rasa deg-degan dan senang campur teraduk ketika melewati jembatan panjang. Deg-degan karena apakah aku bisa keluar suatu saat nanti, dan senang ketika akhirnya aku nekad menuruti hati yang memenangkan logika otak. Kucoba berdiri dari tempat duduk dan memotret ke kanan, kiri, dan ke depan. Namun seorang perempuan dari agen melarangku untuk memotret, menyuruhku lekas duduk lagi. Aku memang tak tahan jika tak memotret momen langka. Walaupun hanya memotret jembatan perbatasan sebelah utara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun